TEPUK TANGAN
Di sebuah ruangan yang sangat diinginkan oleh semua orang sesamaku. Dulu saat mataku sangat bersinar melihat dunia baru ini, hanya dengan sekali tatap aku tau, aku menginginkan ini. Sebuah dunia di balik gempita tepuk tangan yang menghanyutkan, sebuah tempat segala bentuk penghargaan tersampaikan, membuat manusia yang menjadi peran utamanya mempunyai lebih banyak dunia ketimbang dunia aslinya. Kini saat semuanya berlalu dan begitu banyak pengetahuan atas dunia itu, semua menjadi kelu.
Lihatlah lantai yang ku pijak, begitu dingin, membuatku menggigil, membuatku tahu seberapa kualitasku dan membuatku mengerti di mana posisiku. Tok... dengar suara sepatuku yang bergesekan dengan lantai ini? Begitu sumbang, jelas sangat berbeda dengan orang-orang yang jauh di atasku, mungkin juga dengan orang yang beberapa saat lagi berada di atas panggung ruangan ini.
Ku edarkan pandanganku ke sekitar, bangku dengan jumlah banyak menantikan pengisinya, panggung menawan, peralatan musik, segerombolan panitia yang sedang menyiapkan acara besar ini, dan masih banyak lagi.
Aku menghela napas panjang, ku redahkan gejolak emosi yang selalu hadir saat aku berada pada kondisi seperti ini. Aku membawa diriku menuju bangku yang tepat di tengah-tengah ruangan, untuk sebuah keseimbangan emosi, kadar kekaguman, sisi kritis, keirian. Satu hal lagi yang menjadi alasan utamaku berada di sini meski sesungguhnya aku tidak ingin, agar aku bisa melihat secara jelas seseorang yang lebih parah dariku.
Waktu bergerak cepat, orang-orang mulai berdatangan memenuhi bangku-bangku kosong di ruangan ini. Sayangnya, aku tidak menyukai kehadiran orang-orang tersebut. Yah, sejujurnya aku berharap bangku-bangku ini kosong, ah, jangan sampai seburuk itu, terisi tapi hanya sedikit, dua-tiga baris rasanya sudah cukup. Terlebih untuk orang yang akan berada di atas panggung itu.
Ada sifat buruk manusia dimana ia akan merasa iri saat orang lain sukses. Itulah yang terjadi padaku sekarang bahkan juga sebelum-sebelumnya. Lebih jauh lagi biasanya aku mengucapkan komentar-komentar cukup tidak enak didengar, yah, itulah bentuk defence yang biasa ku lakukan.
Bangku-bangku hampir penuh dan sosok yang ku tunggu muncul, di antara beberapa orang yang berdandan necis, ia hanya mengenakan kaos oblong dan jeans belel. Setelah sekian lama tidak berjumpa, ia tetap sama, itulah dia yang seharusnya berdiri dipanggung dan menikmati tepuk tangan yang meriah. Bukan orang lain.
*****
Namanya Jo. Seseorang yang kini duduk memunggungiku berjarak tiga bangku. Sama-sekali ia tidak menyadari keberadaanku bahkan semua orang yang ku kenal dalam ruangan ini pun sama karena aku sudah bertransformasi sebagai orang yang berbeda.
Ku tatap lamat-lamat punggung Jo, tiba-tiba sesak menguasaiku, membuat bayang-bayang masa lalu berputar silih berganti. Gemuruh tepuk tangan menyentakku. Ku arahkan pandangan ke depan tepat ke panggung. Orang itu datang, langkahnya tegas dan penuh kharisma. Dengan tuksedo berwarna putih gading, ia terlihat sangat menawan, sangat gagah. Ketika berbalik, dengan jelas aku melihat wajah itu dan langsung ku alihkan tatapanku. Ternyata kebencianku terhadapnya masih sama, rasanya aku ingin bangkit dan langsung menampar wajah itu. Renaldi.
Terkutuklah dia. Terkutuklah manusia tidak tau diri itu.
Seandainya semua orang tau yang sebenarnya terjadi, aku yakin tidak akan ada yang menepuki Renaldi seperti ini, tidak ada yang menatapnya dengan kagum, di antara orang-orang ini tidak akan ada yang bersedia membawa buket bunga untuknya. Justru mereka akan membawa tomat untuk dilempar tepat di wajahnya, justru mereka akan mencaci makinya.
Pandanganku turunkan pada punggung Jo. Jika selama ini kamu menganggap hidupku memalukan, memilukan dan mengerikan, kamu lebih dari aku.
Setelah memberikan penghormatan, Renaldi menuju pianonya. “Lagu pertama ini saya dedikasikan untuk teman-teman saya yang hadir dalam konser ini. Fur elise, lagu bersejarah yang membuat saya yakin dengan dunia yang saya tapaki ini.”
Terdengarlah kelembutan suara piano itu. Jari-jarinya menari di atasnya dengan gemulai. Matanya ditutup, pada jari-jarinya yang dulu ku panggil ‘miracle’ ia percayakan pertuntunjukan besar ini. Ruangan semakin lama menjadi syahdu. Aku terhanyut, semua orang di sini terhanyut oleh buaiannya. Dan saat part pertengahan berlangsung, jelaslah sudah, tidak ada yang bisa berfikir jernih, semuanya telah dirampas oleh permainan Renaldi. Dibawanya semua orang pada dunianya, pada kenangannya, impulsifannya, egonya, dan pengharapannya. Ia berhasil.
*****
Saat putih abu-abu menjadi identitas, aku, Renaldi dan Jo bersama. Aku sangat menyukai Jo, ketika aku mendengar petikan gitar akustiknya rasanya semua seperti dunia fantasi, beribu emosi dan kejutan bermunculan. Jo dan gitarnya adalah satu paket lengkap yang aku inginkan. Tapi saat itu kita hanya sebatas teman, sebatas dua orang yang sama-sama menyukai musik, sebatas teman yang sesekali menghabiskan waktu ke tempat-tempat menyenangkan.
Di hari Senin setelah pulang sekolah, ia membawaku serta ke tempat kursusnya, mengenalkanku pada semua teman kursusnya termasuk Renaldi yang sudah ku kenal sebagai murid kelas sebelah. Setelah itu, Jo membawaku pada gedung sebelah, auditorium yang biasanya digunakan menggelar konser para musisi.
“Saat aku sudah dewasa, bertambah ganteng, tidak risih menggunakan baju formal, aku akan berada di sana. Berdiri di panggung itu,” ujar Jo sambil menunjuk panggung yang disinari oleh satu lampu temaram karena tidak ada pertunjukan kala itu. “Dengan gitarku, aku akan mempersembahkan beberapa lagu yang akan membuat para penonton tersihir lalu memberiku tepuk tangan yang sangat meriah.”
Itu yang Jo ucapkan dan langsung aku aminkan. Dan di saat itu pula aku secara besar-besaran merubah cita-citaku yang awalnya ingin menjadi seorang guru atau dosen menjadi seorang pianis terkenal. Aku ingin berdiri di panggung itu dengan pianoku, berdiri dipanggung yang sama dan memainkan alat musik bersama Jo. Aku ingin menjadi pianis sukses yang selalu mendapatkan tepuk tangan meriah dari semua penontonku.
Sejak saat itu aku langsung berlatih dengan sungguh-sungguh dan meninggalkan guru piano privatku yang awalnya hanya untuk mengisi waktu luang kemudian bergabung pada tempat kursus Jo dan Renaldi dengan pengajar professional. Dalam tiga kali seminggu aku bertemu mereka di tempat kursus namun aku lebih sering bertemu Renaldi karena berada di kelas musik yang sama denganku.
*****
Fur elise, telah selesai. Tepuk tangan kembali Renaldi dapatkan. Aku menundukkan kepalaku, rasanya berat untuk mengangkatnya kembali.
“Lagu selanjutnya, merupakan lagu yang saya garap saat masih duduk di bangku SMA, terinspirasi dari seorang gadis yang telah mematahkan hati saya,” suara Renaldi membuatku tertegun. “Sudah beberapa kali mengalami perombakan dan untuk konser ini, tiga bulan lalu saya rampungkan. Sepuluh tahun lalu saya mainkan lagu ini untuk gadis tersebut, dan sekarang pun masih sama. Juga semua orang yang sedang bersedih sekarang, lagu ini untuk kalian. Of Shades”
Renaldi memulainya. Aku memberanikan diriku untuk menatap panggung. Renaldi membawa semua orang pada perasaan hampa yang menyayat. Ia pesankan rindu tak berujung lewat lagu tersebut, kemarahan yang tertahan dan ia kisahkan pelabuhan yang tidak bisa ia gunakan berlabuh.
Tanganku mengepal. Aku tahu kebenarannya.
*****
Aku berdiri di balik punggung Jo yang sedang bermain gitar di kelas musiknya. Ia sendirian di sana, begitu takzim dengan gitarnya. Ia menciptakan dunianya sendiri saat sedang bermain gitar, yang tidak seorang pun bisa masuk ke dalamnya. Selain dirinya, orang-orang hanya bisa menikmati bukan memasuki dan berada di dunia yang sama bersamanya. Tapi aku menginginkan dunia yang sama dengan Jo. Aku berusaha untuk bisa berada di dunianya. Sampai sekarang pun aku masih berusaha.
Jo mengakhiri permainannya. Ku berikan tepuk tangan padanya. Ia menoleh, aku tersenyum lebar sembari berjalan mendekatinya.
“Lagunya bagus, ciptaan siapa?” tanyaku sambil mengambil duduk di hadapan Jo.
“Ciptaanku,” katanya datar.
“Serius?” seruku tak percaya tentu bukan maksud negatif tapi positif, karena saking kagumnya pada Jo dan lagu itu. “Lagu tadi ciptaan kamu?” tanyaku pada Jo dengan berbinar-binar.
Jo menatapku datar namun aku tidak memperdulikan itu. Akhirnya ia mengangguk. “Ungkapanku untuknya,” katanya menyebutkan judul dari lagu tersebut.
“Lagunya sedih ya,” gumamku.
“Mau main bersama?” tanya Jo setelah beberapa saat suasana menjadi hening. Aku langsung mengangguk. ia menyerahkan kertas berisi kunci lagu tersebut. Kemudian Jo membawaku pada kelas musikku, di sana ada piano yang bisa ku mainkan.
Dan lagu itu mengalir, melalui gitar akustik Jo dan pianoku. Ku dengar, jiwa musiknya berbeda dengan apa yang ku dengar ketika Jo bermain sendirian. Kini memberi kesan pengharapan bukan kesedihan.
“Kalau kamu nggak mau lagunya jadi sedih, aku bersedia jadi pengiringmu,” kataku saat lagunya berakhir. Aku ingin bersamamu. Dan Jo hanya menatapku lekat. Aku mencintaimu.
*****
Waktu terus berganti. Tidak ada acara jalan-jalan bersama Jo setelah hari itu. Jo menjauhiku tanpa alasan. Terus berkelit saat ku tanya mengapa ia begitu. Hal itu menjadi teka-teki untukku selama berbulan-bulan dan tepat di bulan ke tiga semua teka-teki terpecahkan dan jawabannya adalah Renaldi dan konsernya di acara Pensi sekolah.
“Lagu ini spesial untuk Zee yang berhasil membuatku mengerti cinta. Of Shades, aku ciptakan lagu ini untuk kamu Zee.” Ujar Renaldi.
Kemudian lagu yang sama yang ku mainkan bersama Jo terdengar. Ungkapanku untuknya. Seketika aku marah besar di tengah keheningan penonton yang terpaku pada kelembutan permainan piano Renaldi. Dan orang pertama yang ku cari adalah Jo. Itu lagu Jo bukan Renaldi. Jo tidak mungkin berbohong. ‘Ungkapanku Untuknya’ adalah ‘Of Shades’, lagu itu milik Jo.
Ku dapati sosok Jo sedang berdiri dengan wajah datar. Tidak jelas ia marah atau tidak karena aku tidak bisa membacanya. Belum sempat langkahku membawa pada Jo, tangan Fifi dan Janet teman sekalasku telah membawaku ke atas panggung. Menemani Renaldi. Aku tidak mau berada di panggung sama dengannya, terlebih dia seorang plagiat. Seorang yang mencuri karya orang yang aku cinta.
Aku berdiri kikuk dengan menahan emosiku. Renaldi masih berada di balik pianonya, tersenyum lebar sambil menatapku. Harus ku akui lagu itu mengalami perombakan tapi hanya sedikit yang membuat lagu itu begitu lembut, begitu maskulin sekaligus begitu manis, khas Renaldi. Hampir satu tahun kursus bersamanya, aku jadi hafal dan mengenal ciri khasnya. Renaldi memang sangat berbakat dan aku kagum padanya hingga secara terang-terangan aku menyebut jarinya ‘miracle’ saking besarnya kekagumanku. Tapi itu dulu. Semuanya berubah. Aku membencinya. Teramat.
“Kamu mau jadi pacarku?” ujar Renaldi saat ia menyelesaikan permainannya.
Aku menatap matanya tajam dan menyampaikan kebencianku terhadapnya, “Enggak!” kataku keras dan langsung meninggalkannya.
*****
Sepuluh tahun berlalu, setelah lulus SMA aku memutuskan kuliah di Manhattan School of Music, New York. Sedangkan Jo memilih untuk mempelajari musik di UGM. Dan Renaldi, ia di Barklee College Of Music, Boston.
Beberapa bulan setelah Pensi aku mendapatkan jawaban kenapa lagu ‘Ungkapanku Untuknya’ berubah menjadi ‘Of Shades’ dan berpindah tangan pada Renaldi. Renaldi telah berbuat curang, ia merekam lagu tersebut saat Jo memainkannya kemudian merubahnya beberapa bagian. Dan jadilah lagu itu seakan miliknya dan kini telah dikenal banyak orang sebagai miliknya.
Dan di sini aku sangat kecewa pada Jo. Cowok itu tidak melakukan apa pun untuk mengambil miliknya. Ia hanya membiarkannya. “Lagu itu lebih cocok dengan Renaldi. Akui saja kalau versi Renaldi lebih bagus. Biar lagu itu menjadi miliknya. Dan jika aku bertindak apa semua orang akan percaya? Semua orang tau kualitas Renaldi.”
“Maka dari itu buat semua orang tau kualitasmu!” kataku dengan nada tinggi.
“Aku rasa bukan hakmu untuk marah, itu laguku. Mau lagu itu tetap menjadi milikku atau aku serahkan pada Renaldi semuanya terserah aku!” jawab Jo dan membuatku dengannya sangat berjarak.
*****
Air mataku merembes.
“Lihat saja, kamu akan berada di konserku dan kamu akan menangis.”
Ia benar. Seorang Renaldi akan selalu benar meski ia sedang mengucapkan sebuah kebohongan sekalipun. Air mataku sudah jatuh, aku sudah menangis, seperti apa yang dikatakan, seperti apa yang ia mau. Selalu.
Ia ingin menyakitiku.
Sudah sepuluh tahun aku berusaha untuk meng-up grade kualitasku tapi tetap sama. Aku sudah berusaha untuk menjadi yang terbaik kenyataannya aku bukanlah yang terbaik. Terlepas dari cara yang salah atau benar, aku sudah kalah dengan Renaldi. Tapi aku masih bisa berbangga diri dengan semua yang telah ku lului, setidaknya aku sudah berusaha mengejar cita-cita bukan menjadi seorang pengecut seperti Jo.
Ku sandarkan kepalaku pada sandaran bangku, ku tutup mataku untuk menikmati alunan lagu yang sangat ku benci.
Ungkapanku untuknya. Of Shades.
Sebuah lagu yang dimainkan oleh orang yang tidak seharusnya memainkannya. Sebuah pembuktian bahwa petuah ‘banyak jalan menuju Roma’ adalah benar, baik jalan yang salah maupun yang benar.
Di bawah atap yang berusaha mempertahankan fungsinya. Angin bertiup lirih, bernyanyi senandung mistis yang tidak diharaukan. Yang hanya air mataku yang tahu maksudnya. Yang hanya ledakan emosiku yang mampu menjabarkan semua kekesalan serta kemarahan yang belum tuntas tersampaikan.
Sebuah lagu yang sedang mengalir, mengalir seperti air sungai, pergerakannya pelan namun dalam waktu singkat menguap. Kehilangan aura asli. Bergantikan topeng yang membuatnya seakan berbinar.
Dari sudut ini, ada yang sedang merasa. Seperti panggung yang kehilangan sinarnya. Seperti mic yang kehilangan kenyaringannya. Dan di atas keramik yang telah terjejak tak berbekas.
Ungkapanku untuknya. Of Shades.
Sudah tidak pada pemilik aslinya. Terbang. Terlupakan. Di titik ini, dia yang tidak dijumpai. Di dasar hati yang tidak menyuara. Dia ada. Jo di sana. Sebagai bayangan yang tidak di kenal.
Lagu tersebut telah selesai. Gelegar tepuk tangan memecahkan keheningan, begitu seturusnya hingga akhirnya tepuk tangan panjang menyudahi konser berjudul ‘Of Shades’.
Satu persatu para penonton meninggalkan ruangan hingga menyisahkan aku dan Jo. Kami tidak hendak meninggalkan ruangan ini. Ruangan inilah yang sepuluh tahun silam ku datangi dengannya. Menyedihkannya, kita tidak datang sebagai dua orang yang mendapatkan tepuk tangan. Dan menyedihkan, kita tidak bersama.
Plak.. plak.. plak..
Aku bertepuk tangan. Sejak tadi aku belum bertepuk tangan, aku belum memberi penghargaan atas karya Renaldi karena aku masih tidak sudi dan aku masih iri. Dan kini tepuk tangan itu untuk Jo, terlepas dari sikap pengecutnya, ia pantas mendapatkannya. Lagu ‘Ungkapanku Untuknya’ memang sangat menakjubkan, bahkan aku sudah mengakuinya sejak pertama mendengarnya. Lagu itu telah berkelana meski tanpa pemilik asli, berhasil membuat orang terkagum-kagum, membuat si plagiat di terima di universitas kenamaan, membuat si plagiat berhasil menggelar konser ini dan tanpa tahu malu membuatnya sebagai judul konser ini.
Jo menoleh. Matanya melebar seketika mendapati aku berada di belakangnya.
“Setidaknya aku bisa bertepuk tangan pada orang yang benar,” kataku lalu bangkit hendak meninggalkan ruangan ini. “Walaupun di sisi lain aku bertepuk tangan pada orang yang tidak tepat karena dia pengecut.” Itu kalimat terakhir sebelum akhirnya melangkah lebar-lebar menuju pintu keluar.
Biodata Penulis :
Nama : Binti Iliya Faridah
Nama Pena : Lia El Muslich
TTL : Surabaya, 17 November 1994
Alamat : Rungkut Menanggal III/10e, Surabaya
Buku yang sudhh diterbitkan : Dan Kamu (Grasindo, 2014), Satu Bersamaku (Grasindo,2015)
0 Response to "cerpen lomba - TEPUK TANGAN"
Posting Komentar