SAMPAI BERTEMU LAGI
Mencapai posisi yang diimpikan lewat usaha sendiri tentunya sebuah kebanggaan tersendiri, terlebih dalam perjalanannya harus melewati kelokan yang tajam, dan jalanan yang tak mulus. Semuanya telah terbayar lunas dengan pekerjaan Nadya sekarang yaitu seorang psikolog. Selain menjadi psikolog di sebuah taman kanak-kanak elit, ia juga membuka praktek di rumahnya yang pasti ia dapatkan lewat kucuran keringatnya sendiri. Bukan hanya materiel yang ia dapatkan tapi juga relasi dan kebanggaan.
Setiap hari senin hingga rabu Nadya berada di sekolah, menjadi konselor juga terapis yang menangani problema siswa, orang tua siswa, pun dengan guru yang ada di sekolah ini juga gabungan dari itu. Ia sedang memandang gambaran seorang anak bernama Irawan Prasetya, siswa TK-A yang mempunyai permasalahan.
Sejauh yang Nadya tahu tentang siswanya itu, Irawan adalah anak yang baik, hangat pada orang lain dan murah senyum, namun akhir-akhir ini guru kelas Irawan sering mengaduh padanya bahwa Irawan berubah, Irawan sering terlambat mamasuki sekolah, sering tidak fokus ketika proses pembelajaran, sering menyendiri, dan tidak banyak tersenyum seperti biasanya.
Beberapa hari lalu, Nadya memanggil Irawan untuk mengajaknya berbicara namun Irawan hanya diam dan memainkan ujung bajunya. Setelah dirasa tidak mendapatkan hasil, ia meminta Irawan menggambar manusia dengan aktivitasnya dan hasilnya seperti yang ia duga. Irawan mempunyai masalah. Sebetulnya, bukan masalah dengan dirinya secara langsung tapi orang tuanya yang berimbas pada dirinya. Memang begitulah anak kecil, mudah terpengaruh dengan lingkungan.
Nadya menatap jam di dinding pukul sembilan lewat sepuluh. Ia sudah mengirimkan surat untuk kedua orang tua Irawan agar menemuinya pukul sembilan yang itu artinya orang tuanya telah terlambat sepuluh menit. Hal yang paling tidak bisa ia tolerir adalah masalah disiplin, baginya disiplin adalah salah satu kunci sukses, dan ia bisa sampai pada titik ini pun karena kedisiplinannya.
Tangan Nadya mengambil berkas tentang identitas Irawan, nama orang tuanya yaitu pak Putra prasetya. Nadya tercengang sejenak karena nama tersebut membuatnya teringat pada seseorang. Dilanjut nama ibunya Winda Agustin. Ayahnya bekerja sebagai karyawan bank swasta sedangkan ibunya sebagai sekretaris di sebuah perusahaan.
Took.. took..
Akhirnya mereka datang, batin Nadya. “Ya, silahkan masuk,” ujar Nadya.
“Selamat pagi,” sapa seorang laki-laki.
Nadya terbelalak mendapati siapa tamunya. Spontan, ia berdiri dari tempat duduknya “Setya,” gumam tanpa suara.
“Hallo Nadya,” ujar laki-laki tersebut. Benarlah dia adalah Satya yang Nadya kenal. “Kami orang tua Irawan,” lanjutnya.
Tatapan Nadya beralih menuju seorang wanita yang berdiri di sebelahnya. Winda. Nadya, mengenal kedua orang tua, justru sangat mengenalnya. Segera Nadya menguasai dirinya. Ia tersenyum sekilas kemudian mempersilahkan dua tamunya duduk, namun sebelum itu ia menyalami keduanya.
Apa Irawan adalah sebab dari awal kehampaannya? batinnya. “Jadi Bapak dan Ibu orang tua Irawan,” ujarnya.
“Ya, kami orang tua Irawan,” sahut Winda. “Bagaimana kabarmu, kak Nadya?”
Sekilas Nadya menangkap tatapan tajam dari Setya pada istrinya itu. “Sangat baik,” jawab Nadya. “Lama ya tidak bertemu. Kabarmu juga baik?”
“Seperti yang kak Nadya lihat, kabar saya baik, suami saya baik dan anak kami baik,” jawab Winda dengan penuh percaya diri.
Nadya tersenyum, ia sangat berusaha menahan dirinya agar tidak menampilkan cibiran. “Syukurlah,” kata Nadya tenang. “Jadi begini Bapak dan Ibu, saya akan langsung pada pokok permasalahannya,” ujar Nadya. Ia mengambil kertas yang merupakan gambar Irawan, ia menaruhnya di hadapan Setya dan Winda. “Ini adalah gambar Irawan,” jelas Nadya.
“Saya mengenal Irawan sebagai anak yang baik, anak yang manis, ramah, hangat dan murah senyum,” Nadya berhenti sejenak, ia menatap kedua tamunya, yang sedang memperhatikannya, tentu pandangan Setya dan Winda berbeda. Setya menatapnya dengan penuh perhatian sedang Winda menatapnya dengan jengah. “Akan tetapi belakangan, saya mendapat pengaduhan dari bu Fatma guru kelas Irawan, bahwa Irawan berbeda dari biasanya. Akhir-Akhir ini, Irawan sering terlambat mamasuki sekolah, sering tidak fokus ketika proses pembelajaran, sering menyendiri, dan tidak banyak tersenyum seperti biasanya.”
“Baik nanti, saya akan meminta si mbak untuk membangunkan Irawan dan berangkat sekolah lebih cepat,” jawab Winda.
Nadya meremas tangannya kemudian tersenyum kembali. “Masalahnya bukan sekedar itu, Bu.”
“Lalu apa?” kata Winda sewot.
“Winda, diam, dengarkan baik-baik dulu,” sahut Setya
Nampak Winda memutar bola matanya dengan senyum jengah, “Baik, saya dengarkan,” katanya sambil bersandar pada kursinya lalu melipat tangannya.
Melihat itu, Nadya menjadi terpancing namun tetap ia harus bisa menahan diri. Ia tersenyum lagi. “Apa bisa saya melanjutkan?” tanyanya.
“Silahkan,” jawab Setya.
“Sebelum saya, menjelaskan tentang gambar ini,” kata Nadya tangannya sambil menyentuh gambar Irawan. “Saya ingin bertanya lebih dahulu pada Ibu dan Bapak, seminggu ini bagaimana sikap Irawan di rumah?”
“Baik, ia bangun pukul enam, mandi, sarapan dan berangkat sekolah pada jam delapan ditemani si Mbak. Pukul dua belas pulang ke rumah, makan siang, tidur. Sorenya dia bangun paling molor pukul setengah lima, habis itu bermain di rumah atau di rumah tetangga. Malamnya makan malam sama saya dan suami, belajar, bermain. Ya seperti itulah,” jawab Winda. “Ya, seperti biasalah,” tambahnya.
“Apa ada sesuatu, atau kegiatan atau juga perilaku yang dimunculkan Irawan, yang sebelumnya tidak pernah muncul tapi baru akhir-akhir ini muncul?” tanya Nadya.
“Tidak ada,” jawab Winda.
“Ada,” jawab Setya.
Sejenak Nadya memperhatikan kedua orang itu sedang saling tatap, kemudian Setya melepas tatapan tersebut dan beralih menatap Nadya.
“Ada sesuatu yang terjadi di luar kebiasaan akhir-akhir ini,” kata Setya. Nadya mengangguk, “Moodnya Irawan jelek sekali dalam mingu ini, di rumah suka nangis tanpa sebab, marah tanpa sebab, dan sering main sendiri tanpa bicara padahal jika bermain sering mengatakan sesuatu,” jelasnya.
“Maaf, saya sedikit melebar. Kalau boleh saya tahu, apa akhir-akhir Ibu dan Bpak sedang ada beda pendapat?”
“Tidak sama sekali,” kata Winda cepat yang langsung disangkal oleh Setya.
“Akhir-akhir ini kami sering bertengkar,” ujar Setya dengan tegas. Terlihat Winda sedang mentapnya tajam namun Setya tidak menghiraukan. “Akhir-akhir ini kami bertengkar karena istri saya sering pulang larut. Waktunya yang sedikit untuk mengurus rumah tangga menjadi semakin sedikit. Sering meeting malam dan membiarkan anaknya tidur sama pembantu,” kata Setya dengan gejolak emosinya. “Saya ndak tau tuh, apa yang dirapatkan.”
*****
Ketika itu memasuki semester empat perkuliahan. Nadya menunggu Setya menjemputnya namun setelah lima belas menit menunggu yang muncul bukanlah Setya tapi sebuah pesan.
Aku ada rapat BEM. Kamu pulang duluan saja. Nanti kalau sudah selesai aku ke kosanmu.
Nadya mengiyakannya. Ia pulang sendiri ke kosannya. Malam harinya, Setya datang ke kosannya.
“Sibuk melulu, memangnya ngeraapatin apa sih?” tanya Nadya dengan nada rendah, ia rasa akhir-akhir ini Setya menghadiri rapat lebih sering dari biasanya.
Di luar kebiasaan, Setya menanggapi pertanyaan tersebut dengan nada tinggi. “Kamu ngapain tanya begitu? Kalau aku bilang sedang rapat ya artinya sedang rapat, ada sesuatu yang penting. Kamu nggak tau kan kalau anak-anak BEM sedang ada masalah besar dan kalau aku tidak ikut menanganinya bisa menjadi semakin besar!”
Nadya diam saja, ia tidak mau mengobarkan api pertengkaran. “Ya sudah, maaf. Aku kan cuma tanya.”
*****
“Aku udah bilang kan, kalau akhir-akhir ini aku ada rapat penting kalau aku nggak hadir berarti aku nggak profesional. Perusahaanku sedang naik pamor, bos sering rapat dengan klien yang artinya aku harus ikut. Sudahlah kamu pasti nggak ngerti masalah ini. dan kamu nggak akan pernah ngerti!”
“Aku kurang ngerti apa coba? Kamu minta kerja aku kasi ijin. Kamu rapat aku juga ijinin, tapi nggak bisa kalau sampai larut begitu. kamu itu ibu, anakmu itu butuh kamu,” balas Setya.
“Anakku itu juga anakmu, kalau aku lagi sibuk kamu dong gantiin aku jaga Irawan,” sahut Winda.
Nadya memainkan jari-jarinya di atas meja tanpa suara. Entah ia harus bagaimana, tapi jujur di sudut hatinya ia merasa bahagia, karena apa yang ia rasakan dulu juga dirasakan Setya. Seharusnya ia tidak boleh begini, tapi sebagaimana ia tetaplah manusia biasa.
Nadya berdehem untuk merebut perhatian kedua orang yang ada di hadapnnya. “Maaf, ini bukan saatnya untuk bertengkar,” kata Nadya. “Irawan kan anak Ibu dan Bapak jadi sudah semestinya Ibu dan Bapak sama-sama menjaga Irawan.”
Nb. 3/7/2016
0 Response to "cerpen SAMPAI BERTEMU LAGI"
Posting Komentar