Lukis
Ia warnai kanvas yang tadinya putih bersih dengan biru tua sebagai background kemudian disiramkannya warna kuning dengan sembarangan. Hatinya yang bergejolak membiarkan tangannya mengobrak-abrik kanvas dengan sesuka hatinya. Kemudian tanpa ragu ia gerakkan tangannya tanpa kuas memberi jejak pada kanvas. Begitu saja ia lakukan. Tak peduli tangannya yang kini mirip dengan tangan raksasa, penuh warna, kumel, jorok, tak pantas tangan gadis berupa seperti itu.
Masih khusu’ ia meneruskan lukisannya, kini ia tambahkan dengan warna ungu violet. Ia siramkan cat itu lalu dengan tangannya ia membentuk warna itu mirip sebuah jalan, bukan jalan lurus tapi jalan penuh kelokan, layaknya hidupnya yang tak pernah lurus. Sekali waktu ia menempuh jalan lurus namun tak lama ia belokkan ke jalan yang buntu dan kemudian kembali, bukan ke jalan lurus semula tapi mencari jalan lain, entah itu lurus yang akan membawanya pada tempat yang layak atau ke jalan penuh liku lagi yang membuatnya berada ditempat kesakitan namun memberi hikmah.
Belum ia selesaikan jalan itu tangan kirinya telah merenggut cat berwarna abu-abu, dengan pelan ia percikkan warna itu secara hati-hati ditengah-tengah. Sambil memercikkan tangannya yang kanan masih sibuk membuat jalan, jika warnanya telah memudar kembali ia mengambil warna ungu violet dan menyiramkannya.
Setelah usai dengan jalan dan percikan itu, ia mengambil warna merah magenta yang ia sukai. Merah magentha adalah sumber semangatnya, ketika melihat dan menyelami warna itu hanya akan ada semangat yang menyelebunginya, semangatnya yang timbul bukan seperti api yang akan menghanguskan namun seperti bunga chrissant yang memberi kelembutan. Semangat seperti itulah yang selalu ia tumbuhkan pada dirinya, tak perlu berkobar tapi dengan lembutnya ia meraih semua impiannya.
Merah itu ia sapukan layaknya langit, tak lupa ia menambahkan warna putih, orange dan dan biru kelam. Ia campur begitu saja menjadi bulatan-bulatan awan yang menawan namun kegagahannya nampak bercahaya.
Tak sampai disitu saja, ia menambahkan warna biru tua itu menjadi bentuk kupu-kupu yang tak terlihat jelas, begitu samarnya hingga nanti yang melihat tak akan bisa menebak berapa jumlah kupu-kupu itu dengan jelas. Dengan cepat ia gambar kupu itu dengan kuas kesayangannya, entah bergerobol entah sendiri di muka kanvas. Kupu itu mejadi lebel akan permasalahan dalam hidup, manusia tak akan tau dengan jelas berapa masalahnya, rupanya, wujudnya karena masalah itu samar kadang terlihat indah seperti kupu namun mengerikan seperti warnanya jika tersadar.
Sebagai sentuhan akhir lukisannya, ia percikkan warna putih bening secara penuh dengan bijak supaya terlihat seperti hujan melandanya. Titik-titik hujan yang ia buat tak pernah bisa dihitung dengan tepat begitu pula dengan tangis manusia, entah karena senang atau sedih selalu menetes, ratusan, ribuan, milyaran atau bahkan lebih dari triliyunan membasahi diri dan bumi.
*****
Rida menghela napas ringan dalam matanya yang tertutup. Ia bisa merasakan rintik-rintik hujan yang sedang mengguyur luar rumahnya. Sesekali ia mendesah karena kenikmatan hawa hujan, kadang pula mendesah karena getir kehampaannya.
Kini rintik itu mulai menderas seperti hatinya yang dihujani kesengsaraan yang tiada tara. Menangis yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang. Menangis yang hanya bisa dilihat kala merengkuhnya. Butir-butir itu jelas, menyayat tak memberi ampun. Tak ada obat untuk mengurangi sakit hanya ada sedikit cahaya yang diharap dapat menerangi.
Sinis, bibir Rida mengolok semua rasa yang berkelebat itu. bedebah dengan itu semua, biarlah sakit itu bertengger. Biarlah semua itu ia rasakan sendiri, tak perlu ada yang tau bahkan orang tua yang membesarkan serta saudara dan teman yang selalu menemani. Hanya ia dan Tuhan.
Dan lagi, keluar helaan napas itu. kini perlahan matanya terbuka namun terkejutnya ia saat ia mendapati dirinya tak sendiri dalam kamar.
“Ibu ngapain ada di sini?” tanya datar.
“Ikhlaskan semuanya. Ada yang lebih baik menunggumu, Nak,” ucap ibu penuh ketulusan.
Ah mendengar itu membuatnya semakin hancur. Anak apa ia yang telah menyakiti ibu yang telah mencintainya, yang telah memberikan harapan besar padanya serta puluhan rupiah untuk dirinya, impiannya.
“Aku ndak pa-pa Bu, Ibu ndak usah khawatir. Aku bisa nunggu setahun, aku bisa kursus dan belajar dua kali lipat lebih keras. Dan tahun depan aku ada di universitas itu,” katanya dengan nada yang masih datar, ia sembunyikan perasaannya dan bersikap biasa saja, seolah kegagalan itu tak pernah ia terima.
Terlihat ibu tersenyum, namun senyumnya tak cerah seperti biasanya. “Jangan bohongi Ibu. Menangislah, Nak,” gumamnya sambil merengkuh putrinya. Tapi masih tak ada tangis yang ingin ia terima. Sakit ia melihat putrinya seperti ini. “Yah, rangkailah mimpimu lagi, tapi jangan tinggalkan kuliahmu tahun ini. Kuliahlah dulu di Universitas swasta lalu tahun depan ikutlah tes itu lagi,” gumamnya pelan serupa dongeng yang selalu ia ceritakan saat putrinya masih kecil.
Diluar perkiraan, mendengar itu Rida merasa dadanya menyesak, ia tahu ini pertanda bahwa ia akan menangis. Direngkuhnya sang ibu dan berpuluh-puluh air mata itu pun keluar.
*****
“Tak ada sejarahnya kita punya uang berlimpah Nak, nanti Ibu dan Bapak usahakan,” lembut tutur kata itu seperti angin yang membawa kesejukan.
Perlahan Rida menatap ibunya yang memandangnya dengan penuh kasih sayang. Namun semua itu redup oleh keraguannya, “kalau Ibu tidak punya uang bagaimana bisa Ibu membiayainya? Biayanya mahal Bu,” jawabnya dengan nada lirih, jelas di sana ada keputus asaan. “Tidak usah saja Bu, tahun depan saja,” tambahnya setelah terdiam cukup lama menimbang kalimat itu muncul atau ia pendam.
Mendengar kalimat penuh keputus asaan dari putrinya, cahaya mata Ibu meredup tak disangka putrinya lebih memilih keputus asaan ketimbang keberanian sepertinya, yang selalu ia ajarkan pada putra-putrinya.
“Tahun ini aku kursus dulu, tahun depan baru aku ikut tes lagi,” kata Rida dengan nada yang masih rendah.
“Kok begitu?” ucap Ibu dengan nada biasa walau begitu kekecewaannya nampak jelas. Dengan pelan ia usap rambut putrinya dengan khusu’ “Ibu lebih memilih kehilangan uang dan terjerat hutang dimana-mana ketimbang kamu tumbuh dilingkungan yang salah, kursus hanya dua jam per hari, lalu 22 jam setelahnya kamu gunakan untuk apa? Ibu ndak mau kamu terjebak dalam pergaulan yang salah,” tutur ibu setelah cukup lama memberi jeda untuk putrinya berfikir.
“Tapi Bu,--” gumam putrinya yang terhenti karena Ibu langsung melanjutkan ucapannya.
“Ndak pa-pa, yang penting kamu tahun ini kuliah dulu di swasta, tahun depan kamu kembali tes dan masuklah ke universitas negeri yang kamu inginkan, tinggalkan kampusmu yang lama. Sungguh Ibu dan Bapak ndak pa-pa Sayang.”
Rida memandang Ibunya dengan tidak mengerti. Jika begitu Ibu dan Bapak akan mengeluarkan uang 2 atau bahkan 3 kali lipat. Ia yang salah karena tidak maksimal dalam tes itu jadi ia patut menanggungnya dan belajar lebih giatlah solusinya. Serta kursus bahasa inggris adalah jalannya, ia yakin tesnya gagal pada bahasa inggris karena ia payah dalam hal itu.
Rencana ini akan memberatkan ibu dan bapak, uang pendaftaran dan tetek bengek-nya universitas swasta jauh lebih mahal ketimbang negeri dan tahun depan akan ditinggal begitu saja? Mana mungkin bisa begitu? Sebenarnya ia bisa selamanya kuliah di swasta tapi hatinya menolak mentah-mentah itu. Ia tidak bisa menempuh studi ditempat yang tidak ia harapkan. Dan ibu tahu jika keinginannya tak mudah hilang, apa yang ia inginkan maka harus ia dapatkan.
Kemudian dengan jelas Rida teringat ucapan orang sekitar yang membuat telingahnya sakit. “Lho mas-masnya sekolah di negeri kok adiknya ndak di negeri?” begitulah kira-kira. Cukup lama ia membiarkannya namun apa harus ia tambah lagi dengan 4 tahun kemudian?
Ah rasanya tidak bisa.
Keinginannya masuk di universitas itu begitu kuat dan ucapan itu harus ia akhiri.
Lalu ia harus bagaimana jika Ibu dan Bapak bersikukuh dengan rencana itu?
*****
Setelah berfikir cukup lama akhirnya ia memutuskan untuk menuruti keinginan kedua orang tuanya. Entah mimpinya tentang kuliah di Universitas impiannya akan terpenuhi atau tidak yang jelas ia hanya ingin menuruti kata orang tuanya.
Nuruta marang wong tua, ora ana wong tua sing pengin njlungkrakno anak.
Jatuh bangun ia melawan serta memendam keinginan itu
Nb. 7/7/2014
https://kelasfuadi.blogspot.com/2019/09/privasi-dan-disclamer-dari-katagori-lia.html
0 Response to "Samar Memukau, Nekad mengkilau"
Posting Komentar