10
Cendika
♫ I have a dream, a fantasy. To help me through reality. And my destination makes it worth the while. Pushing through the darkness still another mile ♫
Cendika menghentikan tangannya untuk mengetuk pintu rumah Bagio. Memang tidak begitu jelas ia mendengar suara petikan gitar dan seseorang bernyanyi di dalam rumah Bagio karena di luar rumah Bagio cukup ramai dengan suara kendaraan yang melintas. Cendika mendekatkan telingahnya agar dapat mendengar nyanyian itu lebih jelas dan ia berhasil, di dalam sana ada seorang sedang bernyanyi lagu westlife berjudul I have a dream diiringi petikan gitar yang kemungkinan besar orang tersebut adalah Bagio.
Cendika lebih memfokuskan pendengarannya hanya nyanyian di dalam rumah Bagio, semakin lama ia semakin yakin bahwa yang bernyanyi adalah Bagio. Semakin lama Cendika dengarkan baik-baik, semakin ia bisa merasakan ada yang menyentuh hatinya. Yah, Bagio menyanyikan lagu tersebut dengan penuh perasaan, hingga Cendika kini bisa merasakan adanya perasaan kehampaan namun juga pengharapan.
Tidak terdengar lagi suara nyanyian ataupun petikan gitar di dalam sana, Cendika kembali menegakkan badannya, kemudian mengetuk pintu rumah Bagio. Terdengar ada sahutan dari dalam yang Cendika yakini bahwa orang tersebut adalah Bagio.
“Hai,” sapa Cendika saat Bagio membuka pintu rumahnya. Sapaan yang awalnya begitu ceria langsung tergantikan keterkejutan karena Cendika menangkap kesedihan dalam sorot mata Bagio.
“Hai,” sahut cowok itu dengan menampilkan sebuah senyuman yang tentunya dia paksakan.
“Everything is oke?” tanya Cendika.
Bagio tersenyum lagi, “Ya,” katanya riang namun di telingah Cendika sangat jelas hal tersebut sesuatu yang dipaksakan.
“Baguslah,” kata Cendika. “Aku punya telingah yang cukup tajam, yang sangat berguna ketika kamu butuh didengar,” sambungnya.
Bagio hanya tersenyum sekilas, “Mau masuk dulu?” tanyanya.
Cendika mengangguk, “kalau dipersilahkan,” katanya jenaka, ia berusaha bersikap wajar seperti biasanya. Ia melepas sepatunya karena ia melihat Bagio sedang tidak memakai alas kaki, tidak seperti rumahnya yang mengadopsi rumah-rumah seperti di korea atau jepang bahkan orang barat yang di dalam rumah menyediakan sandal rumah.
Bagio memberi jalan, “asal kamu tahu gara-gara kedatanganmu seorang Bagio menyapu dan mengepel ruang tamu.”
Cendika tertawa kecil, “yeah, aku termasuk orang yang spesial,” seru Cendika. “Boleh duduk kan?” tanya Cendika yang tentunya langsung dijawab Bagio dengan anggukan. “Jadi, sudah berapa cewek yang sudah kamu persilahkan masuk di ruangan ini?”
Bagio mengedikkan bahunya, “dengan reputasiku tentunya sangat banyak hingga aku tidak bisa menghitung,” katanya dengan nada yang penuh kebanggan. “Tapi berita baiknya, kamu adalah teman cewekku yang pertama yang aku perbolehkan ke rumah ini,” lanjutnya sambil duduk di sofa yang berseberangan dengan Cendika.
Cendika memandang Bagio dengan ekspresi terkujut tapi bahagia, “wow, sebegitu spesialnya akukah sampai mendapat penghargaan itu?”
Bagio mengangguk, “yah, karena kamu satu-satunya teman yang betul-betul teman cewek yang aku punya,” jawabnya.
“Berarti selama ini kamu nggak punya teman cewek?”
“Untuk yang dekat, sedekat kamu, ya cuma kamu,” kata Bagio yang ditutup oleh kedipan sebelah matanya.
“Wow, aku tersentuh,” sahutnya sambil tertawa kecil. “Di rumah sedang nggak ada orang ya?” tanya Cendika setelah beberapa saat tidak ada yang saling mengeluarkan suara.
Bagio menggeleng, “kita berangkat sekarang?” tanya Bagio yang langsung mendapat anggukan dari Cendika. “Aku ke kamar sebentar ya,” katanya.
Sembari menunggu, Cendika menatap sekitarnya, tatapannya menangkap sebuah foto keluarga. Di sana terlihat ada mama, papa dan Bagio sendiri, mereka tersenyum memancarkan kebahagiaan. Foto tersebut diambil saat Bagio masih balita karena cowok itu sedang duduk manis dipangkuan ibunya. Melihat Bagio kecil yang gendut dan menggemaskan Cendika ikut tersenyum, selebihnya tidak ada foto lagi di ruangan ini.
Bagio muncul kembali dengan membawa sebuah jaket dan hp, ia langsung memasukkan hpnya ke dalam saku celana kemudian memakai jaketnya. “Berangkat sekarang?” tanya Bagio.
Cendika mengangguk. Mereka menuju mobil Cendika yang terparkir di pinggir jalan depan rumah Bagio, di dalam sana sudah ada pak Jupri yang siap dibelakang kemudi. Bagio menyapanya, yang lagi-lagi membuat Cendika tahu bahwa cowok itu anak yang ramah dan juga mudah dekat dengan siapa saja, buktinya cowok itu langsung mengajak pak Jupri ngobrol.
Tiga puluh menit kemudian mereka telah sampai di parkiran distro i-kece. Distro milik kakak Cendika yang berada di pusat kota dan tepat di pinggir jalan raya. Distro kakaknya merupakan bangunan bertingkat tiga yang seluruhnya didominasi warna hitam putih dan logo i-kece yang bentuknya seperti ikan suro dan buaya-maskot kota Surabaya. Jauh sebelum i-kece dibangun, bangunan itu adalah rumah Cendika, namun karena bisnis pertambangan milik papi berkembang pesat mereka akhirnya pindah ke kawasan elite Surabaya Timur. Selain untuk menghindari bising kendaraan juga untuk menjadikan rumah sebagai ‘surga’ yang sungguhnya bagi penghuninya. Yah impian papi yang ‘rumahku-surgaku’ merupakan impian terbesarnya dan sudah menjadi nyata, semua kebahagian, kenyamanan, kehangatan ada di rumah itu.
Cendika membuka pintu mobilnya, namun ia menghentikan dirinya untuk langsung turun. Ada yang mengganggu pikirannya sejak ada di rumah Bagio hingga kini. Ia menatap Bagio yang sedang kini menoleh ke arahnya dan menghentikan diri untuk turun. “Ada apa? tanya cowok itu.
Cendika menggeleng. Tidak. Ini bukan waktu yang tepat. [.]
***
11
Bagio
Bagio menggigit bibirnya sendiri saat Mahesa-kakak Cendika menjabat tangannya untuk meredam degub jantungnya. Ia tidak mengira bahwa ia bisa menemui idolanya yang biasanya hanya ia lihat lewat twitter, instagram maupun membaca blognya. Jika ia diminta berpendapat maka ia akan mengatakan bahwa dia adalah cowok yang paling terkeren yang pernah ia temui secara langsung.
Mahesa mempunyai tinggi kira-kira menjapai 180’an, wajahnya sangat ganteng terlebih matanya yang ketika memandang terlihat begitu seksi, begitu pula dangan bibirnya. Ditambah ia mempunyai berat badan yang ideal dan dibalik kaos yang ia kenakan tidak bisa menutupi tubuh atletisnya.
“Dia bukan pacarmu kan?” tanya Mahesa dengan nada posesif. Mungkin bagi anak lain pertanyaan itu begitu kasar dan terkesan merendahkan namun di telingah Bagio pertanyaan tersebut terdengar begitu keren karena menyiratkan rasa sayang, perhatian, serta kepemilikan pada Cendika.
Bagio dapat melihat raut muka Cendika yang jail, ”Kalau iya bagaimana?”
Mahesa tertawa. Bagio menelan ludahnya sendiri, bahkan suara tawanya terdengar begitu renyah sekaligus seksi di telingahnya.
“Aku patahkan tulangnya,” kata Mahesa santai.
Cendika tertawa, “silahkan,” katanya sembari ia mengerlingkan matanya pada Bagio.
Tidak mau menjadi korban kejailan kedua kakak beradik, Bagio memilih untuk mengklarifikasi statusnya, “Tenang kak, bukan aku yang harus kakak patahkan tulangnya, ada orang lain,” kata Bagio mantab. “Aku cuman temannya aja.”
Mahesa tertawa, kali ini sambil menepuk-nepuk pundak Bagio seperti kawan akrab, sontan tubuh Bagio menegang yang disertai pula degub jantungnya yang berdendang semakin kencang, “kalau begitu kamu harus jaga jarak dengan dia,” kata Mahesa yang langsung mendapat pelototan Cendika. “Hati-hati terjebak dalam permainannya,” katanya lagi sambil memamerkan senyumnya yang dirasa Bagio janggal seakan menyiratkan 'matilah kau'. “Itu saran gratis,” sambungnya.
Bagio menelan ludahnya, ia kemudian menatap Cendika meminta penjelasan maksud dari Mahesa akan tetapi Cendika buru-buru mengalihkan perhatiannya dan mengambil hpnya. Bagio merasa ada suatu hal yang akan menantinya terkait Cendika. Instingnya sangat kuat kali ini, terlebih kata-kata Mahesa sangat mengganggunya.
“Btw, aku cuma punya waktu satu setengah jam untuk make up dan pemotretan,” ujar Cendika sambil menatap layar hpnya.
“Beres,” sahut Mahesa cepat.
“Dan sebagai brand ambasador aku juga harus dapat koleksi terbaru dan buat temanku ini juga harus ada,” kata Cendika yang langsung mendapat kernyitan di dahi Mahesa lalu menoleh pada Bagio. Bagio yang juga terkejut akan perkataan Cendika hanya bisa menampilkan raut tak mengerti. “Nggak mungkin dong aku ajak teman tapi dia pulang nggak bawa apa-apa,” jelasnya dengan sangat santai sambil memasukkan hpnya di tas.
“Cendika nggak perlu--” ucap Bagio yang langsung terhenti oleh gelengan kepala Cendika.
“Ini nggak ada sangkut pautnya sama kamu Bagio,” tukas Cendika. “Ini antara kakak dan adik, owner dengan brand ambasador serta ketidak adilan soal kemarin malam,” ujarnya dengan nada serius. “Jadi gimana?” tanyanya.
Terlihat Mahesa melihat adiknya itu dengan raut tak terbaca. Bagio bergidik merasakan pertikaian adik-kakak ini, namun dalam hatinya ia dapat merasakan kehangatan pula. Sebagai anak tunggal ia tidak pernah mendapat kesempatan seperti ini, malahan ia hanya menjadi saksi pertengkaran mama dan papanya yang hingga kini tidak jelas akhirnya.
“Cendika,” ucap Bagio “Nggak perlu. Aku nemenin kamu bukan untuk itu,” sambungnya berharap akan dapat meluluhkan Cendika dan memutuskan pertikaian ini.
“Jadi gimana pak Mahesa?” tanya Cendika pada Mahesa yang tidak terusik oleh ucapan Bagio. “Saya sangat sibuk,” katanya lagi belagak menirukan orang dewasa ketika dalam posisi yang sama.
“Deal,” jawab Mahesa pada akhirnya. Bagio yang terkejut tidak kuasa menahan mulutnya yang terbuka. “Lagian ketemu Shane Filan nggak sebanding dengan pakaian,” katanya lagi yang ditutup oleh senyum mengejek yang justru bagi Bagio itu senyuman kharismatik.
Bagio menutup mulutnya segera setelah pandangan Mahesa mengarah padanya, ia tidak mau nampak bego di hadapan cowok itu. Lalu, Bagio arahkan pandangannya pada Cendika, nampak Cendika memanyukan bibirnya, jelas ia termakan ucapan kakaknya dan ia merasa kalah meskipun telah mendapatkan apa yang ia mau.
***
Satu keuntungan terbesar menemani Cendika ke sesi pemotretan ini bagi Bagio adalah dapat mengobrol dengan Mahesa ketika Cendika sedang dimake up. Pembawaan Mahesa yang ramah dan santai mirip Cendika membuat Bagio tidak ragu bertanya hal apapun yang terlintas dalam pikirannya. Yah, ia tak mau melewatkan kesempatan ini hanya dengan mendiamkan saja idolanya. Dan saat pembicaraannya berganti pada topik usaha i-kece dimata Bagio cowok itu benar-benar mengesankan, dimata Bagio, Mahesa merupakan laki-laki yang sempurna-sukses, ganteng, kharismatik, dan tentunya briliant.
Namun semuanya berubah menyebalkan ketika seorang cewek bertampang serta berpawakan model datang dan menyita seluruh perhatian Mahesa padahal mereka sedang asik membicarakan futsall. Tentu saja Bagio tahu siapa cewek itu karena ia followers garis depan Mahesa. Cewek itu tak lain adalah Ajeng sang pacar Mahesa.
Tidak ada obrolan lagi antara Bagio dan Mahesa setelah cewek itu datang dan sesi pemotretan berlangsung. Pemotretan berlangsung di lantai tiga dengan backgdrop putih, sepertinya lantai 3 ini sebelum menjadi ruang pemotretan merupakan ruang base camp karena di sudut yang berbeda terlihat beberapa barang tak tertata dengan benar.
Sesi pertama Cendika seorang diri, kemudian Cendika bersama Ajeng, Cendika bersama Mahesa kemudian mereka bertiga. Pemotretan tidak hanya dilakukan di lantai tiga saja namun juga di halaman depan distro.
Beberapa kali Bagio curi-curi pandang ke arah Mahesa, bukan hanya perawakannya yang bak model namun ia juga berbakat dalam bidang tersebut, terbukti ia sangat baik dalam bergaya di depan kamera. Sama dengan Mahesa, terlihat Cendika pun tak jauh berbeda. Cewek itu terlihat lebih cantik dari biasanya dengan make up tipis sesuai usianya.
“Bagio,” panggil Cendika. Bagio yang tadinya asik memperhatikan Mahesa yang sedang bersiap dengan pakaian ke dua pun terperanjat. “sini, ayo foto bareng aku,”
Bagio terperangah mendengarnya namun dengan segara ia menggelengkan kepalanya. “Nggak usah Cendika,” tolaknya.
Lagi-lagi cewek itu tidak mempedulikannya, ia justru melangkah mendekati Bagio lalu menarik tangan Bagio agar mengikutinya, “selain aku tidak suka penolakan, aku juga tidak akan membiarkan sesuatu tidak sesuai dengan keinginanku,” katanya yang ditutup oleh senyuman intimidasi. “Kak, tolong foto aku sama temanku ya,” katanya pada fotografer yang langsung berpose di hadapan kamera.
“Aku berasa orang yang spesial malam ini,” kata Bagio ditengah ia menyeimbangi pose Cendika.
“Memang semestinya begitu, karena kamu temanku,” sahut Cendika berganti gaya, mendengarnya sontak membuat Bagio menoleh ke arahnya, tidak di sangka cewek itu langsung menatapnya dan tersenyum ke arahnya sembari menggandeng tangennya. “Senyum, Bagio. Yang ikhlas,” kata Cendika lagi.
Bagio tercengang, hatinya tiba-tiba menghangat dan seperti yang diminta cewek itu Bagio memberi senyum terbaiknya, untuk temannya.
***
12
Cendika.
'Thanks udah ngajak aku malam ini. Sejujurnya aku merasa tersentuh. Merasa benar-benar punya teman. Terlebih cewek sepopuler kamu.'
Mata Cendika tinggal se-watt saat membaca pesan WA Bagio. Tepat pukul sepuluh malam ia baru sampai di rumah. Ia ambrukkan badannya di atas kasur begitu saja bahkan ia belum sempat ganti baju terlebih menghapus make upnya. Aktivitasnya hari ini benar-benar membuatnya letih. Dan membaca pesan Bagio membuat hatinya ngilu.
Bagio menganggap semua yang ia lakukan tulus bahwa semuanya semata-mata karena pertemanan, akan tetapi semuanya tidaklah demikian. Ada udang di balik batu. Ini adalah kompromi untuk menjebak cowok polos itu.
Ia sudah melakukan hal seperti ini berulang kali akan tetapi mendapatkan reaksi seperti ini untuk pertama kalinya membuatnya tidak enak. Di lubuk hatinya berbisik bahwa dirinya telah melakukan dosa besar. Masih tegakah ia melanjutkan permainannya?
Cendika menghela napas dalam-dalam. Pandangannya ia tujukan pada sudut dinding dimana ia menempelkan poster westlife tepat lagi pada sosok Shane Fillan.
Cendika menggelengkan kepalanya. Ia tidak boleh emosional. Ia harus realistis.
Tangan Cendika menekan tombil telepon pada kontak Bagio.
"Hallo?" sapa Bagio.
"Bagio, ada yang ingin aku bahas dengan kamu," kata Cendika tidak menyahuti sapaan Bagio. "Besok setelah pulang sekolah ada waktu?"
"Ya. Ada apa?"
Cendika menghela napas. "Besok juga kamu tahu"
"Besok kamu tidak berencana menembakku kan?" ujar Bagio dengan nada jenaka.
Mau tak mau Cendika tersenyum mendengarnya. "Kalau punya aku bakal bawa pistol" sahutnya.
"Masih suka sama Arga kan?" tanya Bagio lagi.
Cendika tertawa. "Nggak ada yang bisa gantiin dia."
"Abis kamu serius banget tadi. Aku kan harus mempersiapakan senjata jika bakal ada sesuatu yang tidak terkendali"
"Pokoknya besok setelah pulang sekolah ya," kata Cendika.
"Iya. Itu aja? Aku tutup teleponnya? Aku sudah ngantuk,"
"Ya," jawab Cendika. "Bagio," ujar Cendika sebelum Bagio menetup teleponnya yang langsung disahuti oleh gumaman. "Aku bukan cewek sebaik malaikat, kamu sadar itu kan?"
Mendengar hal itu Bagio dari ujung telepon tertawa. "Mana ada malaikat yang hobi menebar harapan palsu pada para cowok kayak kamu?!"
Cendika ikut tertawa. "Aku nggak ngasih mereka harapan, salah sendiri anggap keramahanku sebagai harapan," tukas Cendika. "Oke, sampai ketemu besok," ucapnya yang langsung mematikan sambungan telepon.
***
"Selama ini, apa yang aku lakukan ke kamu nggak tulus. Aku pengen sesuatu dari kamu," ujar Cendika setelah ia dan Bagio duduk di sudut kafe yang berlokasi tak jauh dari rumah Bagio.
Beberapa detik setelah pengakuannya itu Bagio melemparkan tanggapan. Cendika sempat menangkap adanya perubahan mimik dari Bagio, bahkan cowok itu yang tadinya duduk tegak menjadi menyandarkan punggungnya pada sofa.
"Apa?" tanya Bagio setelah beberapa saat tak mengeluarkan suara.
"Kerjasama." kata Cendika. "Pertama liat kamu aku tau kalau kamu anak yang pintar. Alasan kenapa aku menghampiri meja kamu dulu saat awal masuk sekolah, alasan kenapa aku ramah sama kamu, bahkan yang kemarin karena aku ingin kerjasama sama kamu."
Bagio tertawa tanpa suara. "bisa lebih didetailkan?"
Cendika memandang sekitar untuk lebih memantapkan ekspektasinya bahwa kafe ini benar-benar aman dan di luar jangkuan dari teman-teman sekolahnya. "kamu tahu aku anak yang populer, dan kamu tahu sendiri kepopuleranku bukan karena otakku yang encer, hanya karena wajahku cantik. Aku benci dikatain cantik tapi bodoh oleh orang-orang, walaupun itu faktanya. Jadi selama ini aku selalu kerja sama dengan anak yang pintar, yang dapat ngebuat aku seakan-akan anak yang juga pintar."
"Jadi?" tanya Bagio
"Berikan contekan dan aku akan ngasih kamu apapun? Bahkan aku bisa jadiin kamu siswa populer di sekolah,"ujar Cendika.
Bagio tertawa mendengarnya. "Jadi ini yang dimaksud kak Mahesa kemarin," kata Bagio. Kemudian ia menegakkan duduknya. "Jujur aku sedikit kecewa, aku kira selama ini kamu tulus," kata Bagio dengan sedikit penekanan pada kata terakhir. "Berteman sama aku tapi ternyata begini," lanjutnya. Bagio berhenti sebentar. "Tapi sebetulnya sejak awal aku sudah curiga, sejak kamu senyum ke aku di hari pertama pelajaran dan memintaku jadi teman satu kelompok."
Hening. Cendika tidak tau harus menannggapi bagaimana.
"Apapun?" tanya Bagio dengan memandang mata Cendika lekat.
"Nggak apapun juga sih," sahut Cendika. "Ya yang wajar ajalah, ini kerjasama yang artinya sama-sama diuntungkan tanpa perlu ada pihak yang terlalu dirugikan." mendengar itu Bagio tertawa pendek tanpa suara. "Lagian aku gak akan contek habis-habisan, sampai kamu kalah soal peringkat. Misalnya kalau kamu peringkat 1 maka aku akan peringkat sepuluh besar. Melakukan contekan secara ekstrim akan ngebongkar semuanya."
Kini Bagio tertawa panjang. "kamu nggak terlalu bodoh ternyata," komentar Bagio.
Cendika menghela napas, "Bisa lebih dipersingkat, apa yang kamu mau sebagai imbalan nyontekin aku?"
"Aku nggak butuh kepopuleran," cetus Bagio.
"Lalu?"
"Penuhi semua apa yang aku butuhkan."
***
Perjanjian
1. Bagio Ardianto akan memberikan contekan dalam segala hal yang bersangkutan terkait pelajaran pada Cendika Lestari
2. Bagio Ardianto akan selalu menjadi teman satu kelompok Cendika Lestari, kecuali ada hal-hal yang mendesak seperti pemilihan anggota kelompok ditentukan oleh guru, dsb
3. Bagio Ardianto bersedia mengikuti bimbingan belajar
4. Cendika Lestari akan berusaha menjadikan Bagio Ardianto sebagai reseller produk i-kece
5. Cendika Lestari selalu menerima endorcement dan mempostingnya diberbagai media sosial miliknya terkait semua kegiatan usaha Bagio Ardianto
6. Bagio Ardianto dan Cendika Lestari diwajibkan menjaga rahasia tentang perjanjian ini sampai kapanpun bahkan setelah perjanjian ini kadaluarsa.
7. Perjanjian ini berjangka waktu tiga tahun, dan dapat dibatalkan ketika ada kondisi tidak terduga dan disepakati bersama. [.]
13
Arga
“Jadi kamu mau pilih sebagai kandidat calon ketua ukm paskibraka atau OSIS?”
Rasanya sungguh tidak dapat dipercaya, baru saja Faisal-kakak kelasnya yang merupakan ketua paskibraka mengajukan sebuah pertanyaan yang membuatnya terkejut, girang sekaligus bingung.
Yah, dari ratusan siswa kelas sebelas ia terpilih menjadi kandidat ketua organisasi, bukan hanya satu melainkan dua sekaligus. Terlebih pada Osis ia tidak perlu mencalonkan diri melalui jalur independen yang mengharuskannya mempunyai suara setidaknya seratus siswa. Ini merupakan sebuah kebanggaan tersendiri baginya. Namun, ia harus memilih salah satunya karena ada ketentuan yang tidak memperbolehkan para pengurus organisasi merangkap jabatan, meski demikian mereka diperbolehkan menjadi anggota organisasi lain. Tidak bolehnya ada rangkap jabatan tentu dengan tujuan agar fokus menjalankan pemerintahan dalam organisasi tersebut secara maksimal.
“Dikarenakan bulan pemilihannya sama kamu harus pilih salah satu,” tambah Raja yang menduduki jabatan sebagai ketua OSIS sekarang. “Karena kalau kamu memaksakan mengikuti keduanya maka citramu akan buruk karena dianggap pengejar jabatan,” jelasnya.
Arga mengangguk, ia tahu hal tersebut.
Sudah sejak lama ia menginginkan dapat menjabat sebagai ketua Osis yang sangat prestisius itu, selain hal tersebut bisa membuat ayahnya bangga, juga dapat mengukuhkan dirinya sebagai siswa paling berpengaruh di sekolah ini. Hingga kabar ini disampaikan oleh Faisal dan Raja ia benar-benar sangat menginginkannya, pasalnya keinginan tersebut pernah pupus di bangku SMP. Di sisi lain, ia juga menginginkan paskibraka karena organisasi tersebut memiliki nilai point tersendiri baginya, salah satunya adalah lebih memudahkannya untuk akses menuju paskibraka tingkat nasional.
“Kamu pikirkan baik-baik, dua hari lagi kamu harus memutuskan,” seru Faisal setelah bermenit-menit berlalu tanpa ada yang berbicara.
“Ingat, semuanya sama-sama bisa menjadi batu lonjatan bagi kariermu di masa depan. Terlebih kamu punya mimpi menjadi perwira seperti ayahmu kan?” Raja menambahi.
Arga menanggapinya hanya dengan seulas senyuman.
***
Kepala Arga terasa sangat sesak memikirkan pilihan yang harus ia ambil. Sekolah sudah semakin sepi, meskipun masih ada beberapa organisasi seperti sie kerohanian sedang berkegiatan di dalam masjid sekolah. Baru saja Arga menunaikan sholat ashar yang sangat terlambat dan kini ia harus buru-buru menuju parkiran agar ia bisa menunaikan sholat maghrib di rumah. Namun belum sampai di parkiran langkahnya tiba-tiba terhenti. Di depannya yang sekitar lima meter darinya ada Cendika yang juga tiba-tiba menghentikan langkahnya dan sama-sama terkejutnya akan kemunculan tiba-tiba dari masing-masing.
Tidak tahu harus menyapa bagaimana, Arga memilih untuk tersenyum dan mengangguk untuk menyapa cewek itu. Terlihat Cendika melakukan hal yang sama. Sejenak Arga terpaku akan senyuman Cendika, cewek itu nampak semakin cantik ketika tersenyum, wajar saja kalau dia termasuk siswa yang diidolakan di sekolah ini.
Buru-buru Arga mengalihkan pandangannya sebelum ia terpesona pada Cendika. Yah, ia cowok normal yang suka melihat cewek cantik.
Arga melanjutkan langkahnya yang terhenti. Namun baru beberapa jengkal, langkahnya kembali terhenti. “Mau pulang kak?” tanya Cendika. Kini jarak Arga dan Cendika semakin dekat, Arga jadi bisa melihat peluh keringat yang ada di sekitar kening gadis itu.
“Iya, ini mau ke parkiran,” jawab Arga. Terlihat Cendika mengangguk, “Kamu sendiri mau pulang?” tanya Arga, ia sudah didik menjadi anak yang sopan, ketika ada seseorang beramah-tamah maka ia pun harus sama.
Cendika menggeleng, “masih harus ngerjain tugas kelompok,” jawabnya. "Oh ya, selamat ya kakak jadi kandidat ketua Osis."
Arga terperangah mendengarnya, sesaat kemudian ia langsung berdehem dan tersenyum simpul, "Kamu dengar dari siapa terkait ini?" tanya Arga.
"Kak Raja," jawab Cendika
Arga manggut-manggut, ini sudah dapat ia prediksi, Raja juga termasuk fans berat Cendika. "Terima kasih ucapannya, akan tetapi itu belum keputusan final," kata Arga. "Bisa minta tolong rumor ini tidak dibagikan ke teman-teman dulu? Mengingat ini masih belum final."
Cendika mengangguk, "Apa aku terlihat seperti ratu gosip?" kata Cendika dengan nada jenaka. "Aku bisa diandalkan kok perkara tutup-menutup mulut," katanya lagi
Arga membalasnya dengan senyum simpul.
"Tapi gak termasuk dengan kakak kelas kakak ya..." kata Cendika lagi. "Intinya kalau sampai berita itu menyebar nantinya bukan dari aku, aku harap kakak percaya itu."
Arga mengangguk. "Oke, perlu aku catet?" sahut Arga dengan nada jenaka mencoba melucu. Arga sadar bahwa ia bukan orang yang pandai melucu akan tetapi usaha Cendika untuk mengakrabkan diri padanya membuatnya begini. Tunggu, bukannya ia bermaksud berkata Cendika pedekate dengannya, karena beberapa kali menangkap cewek itu memang ramah dan mencoba untuk membaur dengan banyak orang walaupun seringnya cowok.
Cendika tertawa kecil. Arga menatap cewek itu, ia sudah beberapa kali menangkap cewek itu tertawa seperti apa yang sedang ia lihat sekarang akan tetapi ada yang aneh karenanya. Entah kenapa tubuhnya beraksi tidak normal, Arga sulit melepas pandangannya pada Cendika, di mata Arga cewek itu kini menjadi semakin cantik. Senyum Arga mengembang begitu saja, dan degub jantungnya entah mengapa menjadi berdegub cepat. 'Apa para cowok yang ada dalam posisinya juga merasakan hal demikian?' batinnya.
"Aku balik ke kelas dulu ya kak," ujar Cendika seusai tawanya reda, Cendika menggukkan kepalanya yang langsung di balas Arga.
Terlihat Cendika berjalan menuju kelas, Arga memperhatikannya beberapa saat, kemudian seakan kewarasannya kembali ia segera mengalihkan pandangannya.
***
13
Cendika
Theater adalah bagian hidup Cendika bahkan separuh hidupnya berotasi di sekitar itu. Ia sangat menyukai peran apapun yang ia mainkan, kostumnya yang kadang sangat berat, berada di atas panngung yang sederhana ataupun megah, di lihat dan mendapatkan tepukan gemuruh para penonton. Itu semuanya merupakan candu. Semakin ia terjun dalam dunia theater semakin ia menginginkan melakukannya lagi dan lagi, serta mendapatkan yang lebih dari apa yang sudah ia dapatkan sebelumnya.
Ketika itu ia masih berada duduk di bangku kanak-kanak, seperti yang dilakukan oleh para guru kakanak-kanak biasanya, mereka akan memilih anak-anak yang menarik secara fisik dan pemberani ditonton banyak orang. Cendika termasuk dalam kategori itu. Ia diminta memerankan drama 'timun mas' dan ia sendirilah yang menjadi timun mas. Berminggu-minggu ia dilatih mulai dari menghafalkan dialog, menjiwai setiap adegan, menghafalkan setiap adegan, dan sebagainya. Bahkan seminggu sebelum kontes ayahnya yang memang dulunya mengikuti theater ambil bagian dalam melatih Cendika. Petunjukkan itu sukses dan berlanjut terus hingga sekarang.
2 tahun lalu, dipercaya Cendika sebagai tahun pembuktian, bahwa ia terpilih bukan hanya karena kecantikannya, akan tetapi karena memang ia berbakat dalam seni peran dan ia bisa melakoni setiap perannya dengan sangat baik.
2 tahun yang lalu mengajarkannya bahwa ketika selama ini dimudahkan karena kecantikan maka yang terlihat berperan besar adalah kecantikan bukan usahamu.
Dan di 2 tahun yang lalu ada 1 cewek yang hingga kini ia kenal sebagai saingan. Karena cewek itu pula yang membuatnya mengalami masa sulit sekaligus membuka jalan untuk menjajal panggung yang besar bahkan namanya dikenal oleh penikmat theater sejatim sehingga pertunjukan yang ada dirinya menjadi perhitungan tersendiri untuk menjadi pertunjukkan yang harus ditonton. Dan sialnya cewek yang ia maksud ada di sekolah yang sama dengannya.
"Aku berharap kamu brgabung sama kita," kata Ana ketua ekstrakulikuler theater.
Cendika mendengus setelah mendengar kalima terakhir tersebut. Seperti yang dilakukan para ketua ekstrakulikuler lainnya yang menginginkan dirinya masuk agar dapat memancing para siswa bergabung. Terlebih theater dimanapun masih sangat minim peminatnya terlebih anak muda, utamanya di sekolah ini. Menyedihkannya, theater di sini sedang mengalami masa sulit, dikarenakan anggotanya sedikit mempengaruhi dalam hal anggaran yang diberikan sekolah pada ekstrakulikuler ini, sehingga para pengurus sedang melakukan usaha-usaha untuk mendapatkan jumlah anggota baru yang banyak.
"Serius nih kamu minta tolong ke aku?" ujar Cendika dengan menekan emosinya sedapat mungkin.
Ana tersenyum dipaksakan. "Aku harap kamu sedang tidak membahas masa lalu."
"Tapi sampai sekarang aku masih belum bisa melupakan, apa yang kamu omongkan di ruang ganti dulu masih sangat jelas seakan baru tadi kamu mengatakannya, dan rasanya masih sangat menyakitkan," sahut Cendika.
"Itu karena aku nggak tau kemampuanmu," sanggah Ana. "dan semuanya berubah ketika kamu yang menjadi peran utamanya dan menjadi kunci keberhasilan pertunjukan saat itu," lanjut Ana. Hening sebentar sampai akhirnya Ana berdehem. "Aku kira kita sudah baikan di acara penutupan saat itu, tapi sayangnya aku salah. Dan aku nggak nyangka hal itu akhirnya berimbas pada masa kini." ktanya dengan nada rendah seakan ia benar-benar menyesal.
Cendika membenarkan anak rambutnya, ia tidak ingin terpengaruh dengan hal tersebut. "Kenapa kamu minta tolong ke aku? kenapa nggak dia saja?" tanya Cendika. "Aku yakin kalian masih akrab seperti dulu."
"Sudah tidak lagi," jawab Ana cepat. "Dia lebih memilih menjadi pesorak dan meninggalkan theater, bahkan sejak masuk sekolah ini dia nggak mau bergabung dengan theater," kata Ana.
Cendika mengangah mendengarnya, aha.. Ia harusnya dapat memprediksi hal ini karena bagaimana mungkin Ana meminta tolong pada cewek yang pernah ia hina dibandingkan teman akrabnya yang selalu ia bela dulu.
"Kasih aku kesempatan untuk nebus kesalahan aku dengan memperlakukanmu dengan sangat baik sebagai anggota theater," kata Ana.
Tiba-tiba ingatan Cendika kembali pada dua tahun lalu, "Dia bisanya apa sih?! Dia menang cuma tampangnya aja. Juga, paling-paling karena papanya yang jadi sponsor utama terlebih papanya teman baik pak Dharma. Aku sih punya firasat alasan utama Mitha keluar dari pertunjukan ini karena didesak Cendika dan koloninya kalau nggak mana mungkin dia mengundurkan diri padahal ia menjadi pemeran utama yang sejak dulu ia nantikan. Jika dibandingkan Cendika, Mitha jauh lebih baik."
Cendika mendonggakkan kepalanya ke atas, ia menghentikan ingatannya sebelum akhirnya kata-kata yang lebih menyakitkan selanjutnya ikut terkenang.
"Seperti yang kamu tahu aku nggak akan melakukan sesuatu kalau itu tidak akan menguntungkan bagiku. Dan kamu memperlakukanku dengan baik? Bukankah itu sudah seharusnya mengingat kesalahanmu dulu?" ujar Cendika. "Aku kasi waktu sampai minggu ini, jadi pikirkan apa keuntungan yang kalian berikan ke aku sebagai ganti keanggotaanku," lanjutnya. "Temanku sudah menunggu lama, aku pergi dulu." kata Cendika.
Cendika berjalan menghampiri meja Bagio yang tidak jauh dari tempatnya tadi. Kantin sudah sangat sepi, bahkan beberapa outlet sudah tutup dan meninggalkan 2 yang kini sedang beres-beres.
"Yuk Bagio kita pulang," ujar Cendika dengan tegas.
***
Air mata Cendika mengalir tepat setelah ia duduk di bangku penumpang mobilnya.
'Cendika bakal merusak penampilan kita! Apa kalian gak memperhatikan bahwa pertunjukan terakhir tidak memuaskan karena ia lupa dialognya.'
'Parahnya dia melakukan improvisasi yang ngebuat kita semuanya kelabakan. Mana sempat-sempatnya ia tersenyum ketika pentasnya selesai lagi'
'Yang bikin jengkel lagi, semua orang memaklumi dan tidak mempermasalahkan. Pak Dharma tetep baikin Cendika padahal yakin banget kalau orang lain ada di posisi Cendika pasti pak Dharma marah besar.'
'Pemain kayak Cendika seharusnya jadi figuran, nggak usah dikasi dialog sekalian.'
'Aku jadi semakin iri sama cewek cantik. Cuma bekal cantik bisa dapatin apapun'
'Bagiku cantik itu gak guna kalau gak bisa apa-apa.'
'Bukannya dia termasuk sepuluh besar terus ya di kelasnya?'
'Gak, dia bodoh. Dia dapetin itu karena nyontek. Aku pernah pergokin dia dikasi Hendra jawaban.'
'Ya ampun dia bener-bener gak guna. Dipelajaran oon, di theater lebih parah.'
Tiba-tiba di hadapannya ia melihat tisu, ia menoleh ke samping, yah.. Bagiolah orang yang melakukannya.
Menatap Bagio ia justru semakin ingin menangis. Semuanya sudah selesai. Bagio semakin tau bahwa ia sangat menyedihkan. Bahwa apa yang ditampilkan sangat jauh berbeda dari apa yang sebenarnya.
Cendika Lestari ternyata nothing. Menyedihkan.
Air mata Cendika semakin mengalir.
===================================
Mungkin ini novel karya terakhir adik Lia, karena diedit terakhir adalah bulan maret tahun 2019, tahun adik meninggal dunia (semoga Amal Ibadahnya diterima Allah dan segala kesalahannya di ampuni - dan mohon maaf jika beliau ada salah dengan kalian) - di nama file tertulis dikirim februari - kemungkinan file ini telah dikirim ke penerbit (entah mana) - > jika ada yang diberikan adik lia hak untuk menerbitkannya dengan disertai bukti, maka saya akan menghapus post ini jika memang itu yang dikehendaki, monggo ...
0 Response to "BAD-BETTER BY LIA EL MUSLICH (5)"
Posting Komentar