4
Cendika
Cendika yang berasal dari kata cendikiawan yang artinya orang pintar, itulah harapan papa atas diri Cendika. Yah, ia memang pintar kalau tidak mana bisa ia dengan mudah mendeteksi para orang pintar yang akan membuatnya seakan pintar. Sejak Cendika duduk di bangku SD kelas tiga ia menyadari satu hal tentang dirinya, bahwa ia tidak sepintar namanya. Apapun pelajarannya mulai dari ilmu eksakta hingga sosial selalu saja menyulitkannya untuk mendapatkan nilai yang bagus. Rekor nilai bagus yang hanya mengandalkan otaknya hanya berkisar tujuh yang bahkan nilai tersebut tidak bisa membebaskannya dari remidial.
Awalnya Cendika mati-matian belajar agar mendapat nilai yang bagus namun usaha itu selalu sia-sia, nilainya selalu mengecewakannya dan orang rumah. Maka ia mulai mencari cara agar dapat meng-up grade nilainya dan ia terbebas dari julukan anak bodoh. Bodoh? ia benci kata ‘bodoh’ yang ditujukan pada dirinya oleh orang lain meski hanya selintas dalam pikirannya.
Lewat film boboho yang ia tonton bersama mas Mahesa-kakak laki-lakinya, ia belajar akan mencontek. Dengan sepenuh hati ia merangkum materi ke dalam benda-benda agar bisa ia gunakan dalam mengerjakan soal. Bahkan ia terus memperbarui taktik menconteknya agar tidak ketahuan oleh seorangpun bahkan teman sebangkunya. Namun hal itu tidak jua berhasil membuat nilainya bagus karena selalu saja contekannya tidak benar-benar membantu. Kemudian berjalannya waktu ia menonton sebuah sinetron yang menceritakan akan adanya kerjasama dengan orang-orang tertentu, sejak saat itu ia selalu bekerja sama dengan anak-anak pintar.
Hal pertama yang Cendika lakukan adalah mendeteksi keberadaan anak pintar, mendekatinya, dan berbagi kesan. Mendeteksi kepintaran seseorang adalah hal yang paling mudah, bisa dilihat dari raut mukanya, telingahnya yang kata orang jawa ‘malang’ alias melengkung kebelakang, cara dia merespon dan tentunya auranya. Entah, bakat apa yang ia miliki, ia sangat pandai mendeteksi aura ‘kepintaran’ seseorang. Orang yang pintar selalu mampu membuatnya terkesima walau hanya lewat hal kecil, yang tentu saja orang yang tidak pintar tidak akan memilikinya. Tentu terkesimahannya adalah alat detektornya paling terpercaya karena hal itu sudah selalu terbukti.
Yah, semua tahu bahwa orang pintar kebanyakan tidak populer, namun orang cantik selalu populer. Cendika memiliki wajah cantik, tubuh sempurna dan gaya hidup yang menunjang untuk populer, terlebih sejak SD ia selalu terkenal utamanya dikalangan anak cowok. Dengan kerja sama antara anak populer dan anak pintar maka akan terjadinya perataan kesan, yaitu si pintar yang populer.
Kerjasama tersebut hanya ia lakukan dengan anak cowok, karena baginya akan jauh lebih mudah menjerat anak cowok daripada anak cewek. Para cowok manapun akan bereaksi pada cewek cantik meski hanya sebentar, dan ketika itu peranan kecerdikan akan berperan. Selain itu, bagi cowok hal yang membanggakan adalah bisa menggandeng cewek cantik. Terlebih penampilan utama akan lebih menumbuhkan banyak peluang.
Cendika melepas kacamatanya. Ah ya, untuk melengkapi look yang pintar ia seringkali memakai kaca mata bening. Bukan itu saja, untuk menyempurnakan tampilannya sebagai anak yang terlihat ‘pintar’ ia selalu melakukan sesuatu yang tidak bisa diprediksi, dan keterampilan ini ia dapatkan lewat film-film yang ia tonton. Dan yang penting dari itu semua adalah sorot mata, ia selalu melatihnya, anak yang pintar selalu mempunyai sorot mata yang tajam dan mendalam, hal tersebut telah ia kuasai.
Bagio, ucap Cendika sambil tersenyum penuh arti. Ia baru saja melancarkan aksinya pada cowok yang akan ia targetkan untuk menjadi rekan ‘kerja’nya.
***
“Hai,” sapa Cendika pada Bagio, tangannya melambai pada cowok itu, terlihat Bagio menoleh ke sekitar baru saat yakin bahwa lambaian tersebut tertuju pada ia pun membalas lambaian tangan Cendika. Sambil berlari-lari kecil Cendika menuju ke arah Bagio, “jadi kamu kalau berangkat jam segini?”
Terlihat Bagio mengangguk kepalanya dengan kaku, “ah, ya.”
Cendika tersenyum simpul, “terima kasih sudah bersedia jadi teman satu kelompokku,” kata Cendika mengulang hal sama yang ia katakan kemarin malam lewat perbincangannya dengan Bagio lewat telepon.
“Nggak perlu bilang terima kasih, kebetulan aku juga belum dapat teman kelompok.”
“Jadi kapan kita mengerjakannya?”
Terlihat cowok itu sedang berfikir.
“Pulang sekolah?” usul Cendika.
Bagio menimbang-nimbang, “oke” jawabnya. “Dimana?”
Kini Cendika yang sedang berfikir, “Di kelas saja kali ya, kebetulan aku lagi bawa laptop, pasti wi-fi sekolah juga lancar karena yang gunain tinggal dikit.”
Bagio manggut-manggut, “kenapa aku menangkap sebuah usaha pengiritan ya?”
Cendika tertawa, “That’s right!” sahutnya cepat. “Pengiritan pada pelajar adalah hal yang wajar, kalau bisa gratis ngapain bayar kan?”
Bagio geleng-geleng kepala.
“Ada apa?”
Raut muka Bagio sedang terlihat memikirkan sesuatu, “Aku kira kamu bukan tipe anak yang ---”
“Pengirit?” tebak Cendika cepat. “Kamu salah besar,” ujarnya. “Kalau begitu kamu harus dekat-dekat sama aku biar nggak salah kira lagi,” katanya dengan menutupnya dengan sebuah senyuman.
“Cewek memang susah,” sahut Bagio.
Cendika mengangguk, “maka dari itu kamu harus banyak belajar, biar bisa jadi cowok yang baik buat cewek.”
Bagio terbahak.
Cendika menatap Bagio senang, seperti biasanya pendekatannya dengan calon ‘partner’nya berjalan lancar dan hanya menunggu sedikit waktu saja untuk menggaetnya.
***
Arga. Ini pertama kalinya Cendika merasakan sesuatu yang berbeda karena seorang cowok. Mungkin ini yang namanya jatuh cinta, hanya melihat orang yang disukai lewat sepintas sudah berhasil membuat seseorang kehilangan kendali dan alhasil senyuman di wajahnya tidak pudar.
“Dia keren banget,” kata Cendika lirih dengan senyuman masih menghiasi wajahnya.
Cendika sedang berada di kantin bersama Bagio untuk menunggu jam masuk. Mereka telah memesan dua teh hangat yang sedang dipersiapkan oleh cak Halim si penjual, Cendika mengetahui namanya lewat Bagio yang berbincang akrab dengannya. Saat menunggu pesanan mereka datang, Arga melintas begitu saja di hadapan mereka. Alhasil pandangan Cendika mengikuti lahkah cowok itu hingga punggungnya tak terlihat lagi.
“Apa?”
Cendika menoleh ke arah Bagio yang melongoh. Benar kata orang dunia seakan milik berdua jika sedang jatuh cinta, orang lain seakan menghilang dan sejenak terlupakan. Cendika nyengir kuda, “biasa, sindrom remaja,” katanya sambil mengibaskan tangannya.
Tampaknya Bagio tidak mengerti ucapan Cendika, namun ia memilih mengangguk-anggukan kepalanya.
Suasana kantin pukul enam lebih lima belas menit pagi sangat lengang, hanya beberapa siswa yang memenuhi meja kantin. Para penjual yang menyewa bangunan ini belum semuanya datang, hal itu terlihat dari stand mereka yang masih banyak yang tutup. Para siswa yang berada di kantin kebanyakan memesan makanan berat, mungkin karena di rumah belum sempat sarapan. Bagiopun begitu, meski bukan bubur atau nasi, ia sedang mengambil gorengan yang berada di tengah meja lalu melahapnya, melihatnya melahap ubi goreng, Cendika yakin bahwa cowok itu belum sempat sarapan di rumah.
“Masih senyum-senyum sendiri? Apa ada hal spesial yang membuatmu seperti ini?” tanya Bagio.
Cendika menggeleng cepat. Ok, senyumnya karena kasmaran sudah membuatnya terlihat aneh, saatnya mengendalikan dirinya. “Aku harap karena ini kamu tidak menganggapku aneh.”
“Karena sindrom remaja?”
Cendika mengangguk.
“Berupa jatuh cinta?”
Cendika terperangah. Cepat-cepat ia menggelengkan kepalanya namun Bagio justru menampakkan senyum penuh arti.
“Aku juga pernah, jadi nggak usah buang-buang tenaga untuk berbohong,” kata Bagio. “Itu hal yang alamiah, semua remaja akan melalui fase itu.” lanjutnya yang lagi-lagi menampakkan seulas senyuman penuh arti. “Walaupun samar aku dengar kamu bilang ‘dia keren banget’ sesaat ada cowok lewat. Yang tidak aku tangkap adalah itu tertuju pada siapa.”
Cendika mencondongkan badannya ke depan, “Aku kelihatan bodoh nggak sih senyum-senyum kayak tadi?”
Bagio terbahak, “walaupun kamu nampak bodoh, tetep masih banyak yang suka sama kamu.”
Cendika nyengir, “kamu sendiri suka sama aku?” yang ditutup oleh senyuman manis.
Bagio terperangah, “bohong kalau nggak suka, ibaratnya kamu itu pantai di tengah kota yang sesak dan membosankan.”
“Jadi cuma ditatap aja?” celetuk Cendika. “Cuma sebatas itu?”
Bagio mengangguk, “memangnya ada pantai yang dimiliki seseorang?”
“Ada, sekarang lagi trend orang kaya beli pulau kecil beserta pantainya.”
Bagio mengangguk lagi, “termasuk kamu?” cendika melongoh-tak mengerti maksudnya “yang hanya bisa dimiliki oleh cowok kaya?”
Cendika terbahak yang langsung disusul oleh Bagio.
“Anyway, aku suka diibaratkan seperti pantai, tapi nggak suka perlakukan seperti barang,” kata Cendika setelah tawa mereka reda.
Bagio tersenyum, “akan aku ingat.”
***
“Sejak kapan suka sama dia?” tanya Bagio. Cowok itu mengangguk sembaru mengucapkan terima kasih pada Cak Halim yang baru saja menantarkan pesanan mereka. “Cowok yang lewat,” jelas Bagio setelah beberapa saat ia menunggu jawaban Cendika namun cewek itu tidak jua menjawab.
Cendika tersenyum, bayangan sosok Arga melintas dalam benaknya, kemudian disusul oleh suaranya yang menyebutkan sebuah nama, meski bukan namanya namun tetap saja suara itu masih terdengar merdu di telingahnya.
“Sejak pertama lihat wajahnya,” jawab Cendika.
“Pasti karena ketertarikan fisik,” sahut Bagio.
Cendika mencondongkan badannya ke depan lagi, “kenapa aku dengar ada nada sinis ya?” katanya yang langsung ditutup oleh tawa kecilnya.
Bagio mengangkat bahunya, “cinta pada pandangan pertama selalu seperti itu.”
Cendika mengangguk setuju, “cewek-cewek lain mungkin iya, tapi aku cukup berbeda, terlepas dari emang dia ganteng tapi yang ngebuat aku kesem-sem adalah auranya.”
“Aura?”
Cendika mengangguk meyakinkan, ”auranya dia yang memikatku. Dia cowok yang berbeda, nggak hanya sekedar ganteng yang jadi modalnya.”
Alis Bagio terpaut, nampak sekali ia masih bingung, “Kamu punya bakat paranormal?”
Cendika terbahak, “anggap seperti itu,” jawabnya singkat.
Bagio menatap Cendika penuh tanya, terlihat cowok itu menyimpan banyak pertanyaan namun tidak jua ada yang diungkapkan.
“Hallo Cendika,” sapa seorang siswi, dari badgenya bisa diketahui bahwa ia bernama Tania Rarasati dan duduk di kelas dua belas. Cewek itu mengenakan seregam yang sangat ketat, rambutnya yang panjang melebihi bahu tergerai dan wajahnya dipoles make up tipis. “Sori ganggu sebentar,” katanya pada Bagio yang langsung dijawab anggukan oleh cowok itu. “Aku Tania dari ekskul chersleders,” katanya memperkenalkan diri pada Cendika, ia ulurkan tangan kanannya yang langsung dijabat oleh Cendika sebentar.
“Kebetulan aku ketuanya,” ujar Tania dengan bangga, “aku bermaksud untuk menawarkanmu untuk masuk dan menjadi anggota kehormatan yang tentu saja nggak semua siswi bisa mendapatkannya.”
Cendika tersenyum yang seperti biasa memberinya kesan ramah. Ia jadi ingat saat ia duduk di bangku SMP, hal semacam ini juga alami dan yang sangat sama adalah ekskulnya adalah chersleders entah kenapa semua orang menyangka ia adalah cewek yang ideal untuk menjadi salah satu anggota ekskul tersebut.
“Asal kamu tahu, selain prestasi yang kita punya, semua anggota chersleder adalah siswi pilihan yang tentunya akan menjadi idola, kepopuleran para anggotanya tidak akan bisa tertandingi.”
Lagi-lagi cendika tersenyum mendengar cerita singkat yang menurutnya basi. Di sekolahnya dulu, dan bahkan mungkin semua sekolah menyangka apa yang dikatakan Tania. Tapi ia tidak perlu menjadi anggota Chersleder dahulu untuk populer karena sejak ia menginjakkan kaki di sekolah ini ia sudah populer.
Cendika melirik Bagio yang terlihat mendengarkan dengan khikmat, seperti menerima radar cowok itu mengedipkan sebelah matanya sambil mengacungkan jempolnya, tanda bahwa cowok itu mendukungnya untuk masuk ke dalam ekstrakulikuler chersleder.
“Sebuah kehormatan mendapat tawaran yang bagus ini,” ucap Cendika. “aku seneng banget kakak menawarkan ini padaku. Akan tetapi aku perlu waktu untuk mempertimbangkannya.”
Terlihat raut muka Tania berubah sejenak mendengarnya, namun ia langsung menguasai dirinya. “Take your time, Cendika. Please call me for said yes,” katanya semanis mungkin dan tentu saja dengan senyum manis pula.
“Memangnya harus ya cewek seperti aku selalu disangkut pautkan dengan ekskul chersleder?” tanya Cendika pada Bagio setelah Tania meninggalkan mereka berdua.
Bagio tertawa, “salah sendiri punya sesuatu yang sangat diperlukan oleh ekskul itu.”
“Mereka nggak kreatif sih, seharusnya mereka membuat sesuatu yang baru, mengubah image, meninggalkan budaya lama,” kata Cendika mulai berargumen. “Bahkan dia nggak tanya dulu aku bisa nari apa nggak, atau apa aku berani dengan ketinggian atau bersedia dilempar.”
Bagio terbahak, “cukup cantik dan populer, mungkin itu syarat utama dan yang lain menyusul.”
Cendika menggeleng-gelengkan kepalanya, “jadi secara nggak sengaja si Tania mengatakan bahwa aku bisa meningkatkan brand mereka?”
Muka Bagio semakin memerah, ia tidak bisa berhenti tertawa. “Bosenin ya jadi cewek cantik dengan tubuh ideal?”
Cendika mendelik.
“Rubah penampilanmu dan jalani hidupmu yang baru pasti tidak akan membosankan.”
Cendika tertawa bersama cowok itu. “Aku kok merasa kamu menyenangkan ya buat jadi teman ngobrol?”
Bagio menghentikan tawanya, ia menegakkan badannya, “Aku memang seperti itu,” katanya percaya diri.
“Teman?” ujar Cendika sambil mengulurkan tangannya.
“Aku jadi ingat film kuch-kuch hota hai dan mujse dose karoge.“
“Apa?” seru Cendika kanget.
“Kamu kira cowok nggak suka drama seperti itu?” kata Bagio sambil mengedipkan matanya.
Cendika tertawa, “Aku suka nonton, dan aku penonton film apa saja,” jawab Cendika.
“Aku pastikan nggak akan ada cinta segitiga atau segi empat di antara kita,” seloroh Bagio sambil menjabat tangan Cendika.
Cendika tertawa lagi. Tidak dikira pendekatannya akan semudah ini dan dalam sehari proses ini terlewati. Ia hanya tinggal menuju proses selanjutnya. Dan Bagio mungkin cowok ini adalah partnernya yang sangat menyenangkan di antara partner sebelum-sebelumnya[.]
***
5
Arga
“Sakit apa?”
Hari ini adalah jadwal piketnya untuk menjaga uks, seperti biasanya ia selalu datang ke uks di waktu istirahat, entah itu istirahat yang pertama ataupun kedua. Tugasnya adalah mengecek kondisi siswa sakit, memberinya obat, dan mencatatnya. Hari ini pun begitu namun begitu kagetnya ia saat mengetahui bahwa siswa yang sakit tersebut adalah cewek yang pernah pura-pura pingsan.
“Pusing,” jawab cewek itu yang ia ketahui bernama Cendika. Cewek itu menjawabnya cukup lama setelah berfikir cukup panjang.
Arga menghela napas ia menduga lagi-lagi cewek ini berbohong. “Bagian mana yang sakit?” Terlihat mata cewek itu bergerak-gerak ke atas. Mendapati hal itu Arga kembali menghela napas. “Kamu sakit beneran?”
Cendika mengangguk cepat, “kepalaku pusing ........ sedikit,” jawabnya. ”Tenang, sekarang sudah baikan,” kata cewek itu lagi.
Arga menaikkan alisnya, “Tapi wajahmu tidak terlihat pucat sama sekali,” sahut Arga. Tangannya menyentuh kening cewek itu yang entah mengapa justru membuat cewek itu nampak tegang, “suhu badan kamu nampaknya normal,” lanjutnya. Bukannya menjawab justru cewek itu terlihat melongoh, “Hey,” ujar Arga yang kini mengibaskan tangannya di depan wajah cewek itu.
“Kenapa sekarang pipimu jadi memerah?”
Cendika langsung gelagapan.
“Hallo?” seru Arga yang sekali lagi melambaikan tangannya di depan wajah cewek itu karena lagi-lagi ia tidak menjawab pertanyaannya.
“Itu anu.. emmm....”
Arga menunggu jawaban.
“Anu tadi anu...” jawab Cendika dengan nada berbisik sambil tatapannya tidak menentu.
“Panu?” sahut Arga mengkonfirmasi.
Cendika terperangah kemudian cewek itu menggelengkan kepalanya cepat dan tegas. Ia menggigit bibirnya, “Bukan panu!” ujar cewek itu. “Maksudku aku tadi beneran pusing. Karena aku kurang tidur makanya aku sempat pusing,” jelas cewek itu “makanya aku ke uks untuk tidur biar pusingnya hilang.”
Mau tidak mau Arga mengangguk. “Dari mulai jam berapa kamu ke sini?”
“Jam kedua.”
“Pelajaran?”
“Matematika.”
Bibir Arga tertarik ke samping, “Jadi karena pelajaran matematika?” Terlihat Cendika mengerjapkan matanya, senyum Arga semakin lebar. “Iya-iya, matematika memang sering membuat sebagian anak pusing dan akhirnya lari ke uks,” katanya, sebisa mungkin ia menjaga nadanya agar tidak terkesan sinis.
Cendika bangun dari tidurnya, “nggak begitu, sama sekali bukan karena matematika. Sudah ku bilang kalau aku kurang tidur dan itu membuat aku pusing,” sergah cewek itu cepat. “Tolong jangan membuat hipotesa yang menyudutkan aku!”
Mendengar itu Arga menjadi ingin tertawa namun ia tahan. “Oke, maaf,” ucapnya. “Jadi, siapa namamu?” tanya Arga, entah mengapa mendengar pertanyaannya cewek itu jadi tersenyum malu-malu dan mau tidak mau Arga jadi tersenyum simpul. “Jangan salah paham, aku tanya karena harus mengisi buku ini,” jelas Arga cepat sambil memperlihatkan sebuah buku absen siswa sakit.
Senyum cewek itu langsung lenyap, ia tegakkan tubuhnya sambil menatap Arga lekat, “Cendika Lestari,” ucapnya dengan intonasi yang jelas, “kelas sepuluh ips satu,” jelasnya. “keluhan pusing, mulai masuk uks di jam pelajaran kedua dan tolong izinkan aku istirahat lama karena kepalaku masih pusing.”
Hampir saja Arga terperangah mendengarkan cewek itu, namun cepat ia kuasai dirinya. Ia menganggukkan kepalanya dan menulis informasi yang disampaikan oleh cewek itu di buku yang tengah ia pegang. Ditengah-tengah ia menulis, Arga menghentikan, ada yang aneh di sini.
“Sebelumnya kamu pernah di rawat di uks? Tentu bukan saat LOS,” tanya Arga.
“Kemarin,” jawab Cendika singkat.
Ternyata itu jawabannya kenapa cewek itu bisa memberikan informasi yang lengkap untuk mengisi buku tersebut. Mata Arga mengarah pada bagian atas buku, dimana catatan siswa sakit kemarin, betul cewek itu kemarin juga ke sini namun dengan keluhan yang berbeda.
Arga melanjutkan pencatatannya. Dua hari masuk sekolah sudah mengunjungi uks dua kali.. hebat, batinnya.
“Di sini masih ada roti?” tanya cewek itu. Arga menegakkan kepalanya. “Perutku bunyi.” Ucap cewek itu yang membuat Arga melongoh. “Sebelum maghku kambuh harus cepat diisi,” katanya polos dengan seulas senyuman innocent.
Arga menggelengkan kepalanya. Sekali lagi ia menghela napas dan mengangguk. “Sebentar,” jawabnya singkat. Sembari ia melangkah menuju etalase penyimpanan roti dan obat-obatan. “Tadi pagi nggak sarapan?” tanya Arga.
“Sudah, tapi sedikit.”
Mendengar jawaban cewek itu, Arga tidak bisa menahan senyum kecilnya. Ada satu hal yang membuatnya salut dari cewek itu selain sikap anehnya tentunya, yaitu dia tidak diet. Entahlah, Arga tidak habis fikir dengan cewek-cewek yang mati-matian diet untuk membentuk badannya agar ‘indah’. Menurutnya, selama berat badan tidak berlebihan itu tidak masalah, karena baginya cewek cantik tidak melulu harus langsing, contohnya ibunya yang cukup berisi terlihat sangat cantik.
“Terima kasih kak Arga,” ucap cewek itu setelah Arga memberinya sebungkus roti rasa cokelat. “Sasono,” lanjutnya. “Aku baca name tag kakak,” jelasnya yang ditutup oleh seulas senyuman.
Arga ikut tersenyum. Tidak menapik bahwa cewek itu cantik, seperti yang dikira teman-temannya bahkan mungkin sebagian besar cowok di sekolah ini. Dan senyuman cewek itu kali ini membiusnya, entah mengapa ia bisa menangkap sebuah kebahagian dari senyuman itu, entah apa yang membuat cewek itu bahagia.
Deheman keras milik seorang cowok menghentikan pandangan Arga dari cewek itu. cowok yang berdehem berjalan mendekat, dia adalah Faisal ketua paskibraka yang kini duduk di kelas tiga ipa tiga.
“Hallo Cendika,” sapa cowok itu. “Hai Ga,” lalu menyapa Arga setelah mendapat anggukan dari Cendika. “Aku tadi ke kelasmu, tapi kata temanmu kamu sedang di uks lagi nggak enak badan,” ujar Faisal sambil menarik sebuah kursi dan merapatkannya pada ranjang yang ditiduri Cendika. “Makanya aku ke sini. Kamu sakit apa?”
‘Ehemm,’ kini Arga berdehem untuk mendapat perhatian dari Cendika maupun Faisal. Nampak keduanya menatap Arga, “Aku ke depan, kalau perlu apa-apa bisa panggil aku,” kata Arga lalu ngancir ke depan, ke ‘tempat kerja’ para anggota pmr.
Arga duduk di kursi, ia menaruh buku yang ia bawa ke atas meja. Ia lebih baik duduk di sini sambil menunggu Ines dan Johan rekan piketnya dari pada berada di tengah-tengah Cendika dan Faisal. Lagipula siswa yang sakit hanya Cendika seorang, terlebih sepertinya cewek itu hanya sakit yang diada-ada.
Faisal adalah ketua paskibraka dimana Arga juga sebagai anggotanya. Yah, ia memilih tiga ekstrakulikuler yaitu pmr, futsall dan paskibraka serta ia tercatat sebagai anggota osis. Bicara tentang Faisal, Arga sangat segan terhadap cowok itu, selain mempunyai kharisma yang mampu menakhlukkan para cewek, cowok itu memiliki gerakan paskibraka yang sangat hebat. Tahun lalu ia terpilih menjadi paskibraka upacara kemerdekaan di istana negara mewakili provinsi jawa timur, sesuatu yang diharap Arga akan terjadi padanya juga.
“Sudah baikan kok, kakak ada apa nyari aku?”
Samar-samar terdengar suara Cendika menjawab pertanyaan Faisal yang langsung ditanggapi oleh Faisal. Bukan hanya perbincangan melainkan suara tawa terdengar dari keduanya. Sakit? pusing? Apa lagi yang dikatakan cewek itu? kurang tidur? Bukannya istirahat justru asik ngobrol, itu bukti bahwa cewek itu hanya pura-pura sakit, sama seperti saat LOS. Lainkali Arga langsung menyuruh cewek itu pergi dari uks saat mendapatinya tidak sakit sungguhan. [.]
***
6
Arga
Arga membaca pesan WA Mitha, refleks ia menoleh pada pangku Mitha yang berada di pojok sebelah kiri nomor tiga. Terlihat cewek itu juga menatapnya, dan memandangnya dengan pandangan memohon.
Muncul pesan lagi dari Mitha. Akhirnya Arga mengangguk. ia merogoh tasnya dan mengeluarkan buku sejerah, ia meminta Nora teman yang duduk di samping bangkunya untuk menyampaikan bukunya pada Mitha tentu saja dengan sembunyi-sembunyi karena di depan kelas sedang ada pak Haidar guru kesenian sedang menjelaskan tentang seni drama dengan menampilkan contohnya dari berbagai daerah bahkan dunia.
Pesan dari Mitha muncul lagi. Terlihat begitu buku Arga sampai di tangannya, cewek itu langsung menyalinnya. Sebenarnya Arga sangat tidak setuju dengan contok-mencotek mungkin bagi sebagian besar siswa hal tersebut adalah hal yang biasa terjadi tapi baginya nilai moralnya selalu tidak menyetujuinya. Sedapat mungkin ia tidak mencontek pekerjaan temannya dan sedapat mungkin ia tidak mencontekkan pekerjaannya ke temannya namun ia selalu tidak bisa menolak permintaan Mitha. Yah, ia memiliki perasaan terhadap cewek itu, kalau tidak mana mungkin ia mengabaikan nilai moralnya.
Andai cewek itu memintanya untuk mengajarinya pasti dengan senang hati ia akan melakukannya seperti teman-temannya yang lain lakukan semenjak mengetahui bahwa ia tidak mudah untuk memberi contekan. Tapi mau bagaimana lagi, Mitha tidak seperti teman-temannya yang lain. Ketimbang meminta belajar bareng cewek itu lebih sering memintanya menemani pergi jalan-jalan.
Mitha adalah salah satu anggota chersleader, seperti anggota chersleder lainnya Mitha termasuk cewek populer, ia cantik, tinggi, langsing. Namun Mitha mempunyai kekurangan yang di mata Arga, malas belajar. Mitha bukanlah cewek yang bodoh, tapi untuk mengajaknya belajar adalah hal yang paling sulit. Ia selalu mengerjakan tugas di detik-detik terakhir pengumpulan, mencontek sana-sini dan tidak jarang ia membuat contekan saat ulangan.
Kekurangan itu pula yang menghentikan Arga untuk mengungkapkan perasaannya. Mau bagimana lagi, karena ia ingin mempunyai cewek yang rajin belajar seperti halnya dirinya, bukan cewek malas yang demi nilai bagus menghalalkan berbagai cara. Cewek yang demikian bisakah menjadi partner relationship? Dirinya punya mimpi bahwa suatu hari ia dan orang yang dicintai bersama dan secara bersama-sama mengejar impian, seperti yang dilakukan bapak dan ibunya dulu. Jadi sambil menunggu orang tersebut datang, hingga perasaannya pada Mitha menghilang biarlah ia seperti ini dahulu. Pasti, suatu hari ia menghentikan aksinya yang mencontekkan pekerjaannya pada Mitha.
Kembali pada kelas kesenian pak Haidar, terlihat para siswa setengah hati mendengarkan, begitu pula dengan Arga. Beberapa kali ia kehilangan konsentrasinya pada penjelasan pak Haidar, entah itu karena pandangannya menangkap perilaku temannya yang menarik, getar hapenya dan sekarang ia menangkap seorang siswi sedang mengetuk pintu kelasnya. Semua mata menjadi memandang ke arah pintu.
“Silahkan masuk,” seru pak Haidar menghentikan penjelasannya.
Perlahan pintu terbuka, seorang siswi yang cukup dikenal di kelas Arga menjadi pemandangan menarik bagi para siswa.
“Oh Cendika, ayo masuk-masuk,” ujar pak Haidar menyuruh siswi yang mengetuk pintu masuk. “Anak-anak kali ini kita kedatangan tamu istimewa,” kata pak Haidar pada seluruh siswanya diikuti oleh langkah Cendika menuju depan kelas. “Seperti kebiasaan saya, disetiap kesempatan saya akan menghadirkan tamu istimewa yang berhubungan dengan topik yang kita bahas. Perkenalkan dia adalah Cendika Lestari salah satu aktris teater yang terkenal. Silahkan kamu perkenalkan diri.”
Cendika mengangguk, kemudian ia membungkukkan badannya sedikit untuk menyapa seluruh siswa, “Selamat pagi kakak-kakak,” sapa Cendika yang langsung mendapatkan siulan bahkan seloroh dari para cowok. Terlihat cewek itu tersenyum lebar, seakan ia terbiasa dengan hal tersebut dan menikmatinya.
Pak Haidar memberi instruksi agar siswa-siswanya hening sejenak.
“Perkenalkan saya Cendika Lestari dari sepuluh ips satu. Nama panggung saya adalah kejora dan sampai sekarang saya bergabung dengan sanggar Mandala Surabaya. Salam kenal.”
Kembali teman-temannya riuh. Kini Arga tau kenapa cewek yang sekarang ada di depan kelasnya pandai sekali berakting hingga sempat mengelabuinya. Arga mengedarkan pandangannya, jelas para cowok sangat terhibur dengan kedatangan Cendika, dan jelas beberapa cewek tidak menyukainya dan itu termauk Mitha. Terlihat Mitha sedang berbisik dengan teman sebangkunya dengan raut tidak suka kemudian memberi pandangan mencela terhadap Cendika.
Arga menghela napas, sedikit banyak ia tahu kenapa Mitha bersikap demikian, karena seminggu lalu cewek itu bercerita tentang Cendika yang menolak bergabung di ekstrakulikuler chersleder, Mitha dan gengnya merasa direndahkan oleh karenanya. Namun hari ini Arga tahu alasan Cendika menolak bergabung di ekstrakulikuler chersleder, apalagi kalau bukan karena cewek itu seorang aktris teater yang pasti lebih memilih bergabung dengan teather ketimbang jingkrak-jingkrak bersama anggota chersleder.
Di depan sana, Cendika sedang bercerita tentang awalnya masuk seni theater, asal mula nama kejora sebagai nama panggungnya yang merupakan sebuah harapannya, pengalaman manggungnya, karakter apa saja yang ia mainkan, dan lainnya.
Setelah perkenalan, beranjak pada sesi pemutaran video Cendika sedang mementaskan drama Rama-Shinta. Cendika menjadi Shinta di sana, perangainya yang anggun begitu pas hingga sangat terlihat cewek itu menjiwai perannya.
Arga tidak tahu menahu tentang segala hal tentang seni termasuk seni drama, namun tayangan di layar proyektor berhasil menariknya dan membuat dirinya terhanyut ke dalam cerita yang dipentaskan. Terlebih akting dari para aktrisnya juga disertai tarian daerah, bahkan ia tidak menyangka seorang Cendika yang terlihat modern begitu gemulai membawakannya. Perlahan, Arga menjadi terkesan dengan Cendika.
Arga memandang cewek itu yang sedang berbincang dengan pak Haidar yang tentunya dengan berbisik. Benar juga yang dikatakan Wawan teman Osis yang juga menjadi panitia LOS kemarin hari dan juga menjadi fans garis depan Cendika bahwa Cendika cewek cantik dan populer yang tidak biasa.
Lampu kelas kembali dihidupkan. “Setelah saya mengobrol dengan Cendika, ia bersedia beradu akting secara live dengan salah satu siswa,” sontak para cowok di kelas yang tentunya tidak termasuk Arga berbondong-bondong mengajukan diri untuk menjadi lawan main Cendika. “Baik-baik, siapa saja boleh beradu akting dengan Cendika, tapi karena keterbatasan waktu maka hanya ada tiga anak yang beruntung bersama Cendika membawakan cerita 'Rembulan dari Balik Jendela'. Untuk pemerannya siapa akan ditentukan Cendika dan skenarionya bisa dilihat di depan.” Sambung pak Haidar sembari menampilkan skenario ke layar proyektor.
Sesuai skenario, Cendika membutuhkan dua orang cowok dan satu orang cewek. Setelah memilih secara acak Cendika memilih Hans, Wawan dan Mitha. Arga sama sekali tidak mengerti mengapa Cendika meminta Mitha untuk ikut padahal cewek itu sama sekali tidak mengacungkan tangan, seperti halnya Arga tidak mengetahui mengapa Mitha bersedia padahal sangat jelas cewek itu tidak menyukai Cendika.
Rembulan dari Balik Jendela adalah cerita yang ditulis oleh pak Haidar,. Rembulan dari balik jendela berkisah tentang seoarang gadis yang dikurung oleh keluarganya beserta warga sekitar karena dianggap dapat menimbulkan malabahaya ketika diizinkan untuk keluar rumah. Hal ini dikarenakan ayah-ibunya bersamaan bertepatan dengan kelahirannya, neneknya yang mengasuhnya meninggal seseaat setelah ia bisa berjalan, paman dan bibinya yang mengasuhnya mengalami kecelakaan sesaat setelah gadis itu berbicara lancar dan mengucapkan kalimat panjang yang dipercaya banyak orang adalah mantra kutukan. Dan setiap kali ada malabahaya dikaitkan oleh gadis tersebut terlebih setiap kejadian itu selalu bertepatan seusai gadis itu melafalkan kalimat. Suatu hari, di kamarnya ia menangkap seorang laki-laki asing di balik jendela. Cahaya rembulan yang terang membuat laki-laki itu jelas terlihat, seketika ia jatuh cinta untuk pertama kalinya. Laki-laki itu pun demikian setelah beberapa kali menangkap wajah gadis itu dibalik jendela kamarnya. Kemudian suatu malam saat bulan purnama laki-laki itu mengabaikan larangan warga setempat dan menemui gadis pujaannya.
“Rembulan di atas sana sungguh cantik, tapi di sini, di desa terpencil ini, ada kecantikan yang tidak pernah kujumpai. Mengapa engkau terkurung di sini? Keluarlah biar aku bisa melihat lebih jelas wajahmu yang cantik,” seru Wawan dengan penuh penghayatan, namun itu justru membuat anak lain melontarkan gurauan.
"Aku tidak bisa keluar. Cukup anggap aku bayangan. Mulai sekarang segera tutup matamu sesaat setelah melihatku. Aku tidak diperbolehkan untuk dikagumi, terlebih dimiliki, sedangkan engkau lewat matamu itu sudah jelas sedang mengagumiku" jawab Cendika dengan nada sangat lembut, terdengar kesedihan di telingah Arga, dan Arga dapat merasakannya terlebih mata gadis itu dibuat redup. Cukup dengan begitu saja sudah membuat Arga masuk dalam karakter yang diperankan Cendika. Yah, arga sepakat bahwa Cendika aktris teater yang berbakat.
"Mana bisa semudah itu. Lewat mata dan tuturmu itu aku dapat merasakan bahwa kau juga menyukaiku. Kau akan bersedih jika aku melakukan apa yang kau mau," ‘mimpi-mimpi’ seru si Budi, "bukankah kita ditakdirkan bertemu oleh Tuhan? Barangkali Tuhan pula mentakdirkan engkau menjadi kekasihku" 'huek....' seloroh Hans yang berdiri di sebelah Wawan, dan juga disauti kata 'pahit.. pahit..' oleh siswa-siswa cowok. 'dia bukan ditakdirkan jadi kekasihmu woy.. Tapi jadi majikanmu’ sahut Chandra yang disahuti oleh siswa lain dengan kata 'betul itu'.
Si wawan memberi aba-aba untuk teman-temannya diiam dengan mendekatkan jari telunjuknya pada bibir. "jika kau diam begini berarti kau juga ingin menjadi kekasihku" kata Wawan kemudian mengedipkan sebelah matanya pada Cendika yang langsung disahuti oleh sorakan 'huuuuhhhhh!',
“Kangmas,” ucap Cendika.
“Pait.. pait...” seloroh Budi. “Keong mas.. keong mas...” kini Hans ikut-ikutan. “Keong racun udah bubar woy..” ganti Yudha.
Tak pelak seloroh tersebut membuat seisi kelas tertawa termasuk Arga bahkan Wawan, Hans dan Mitha, namun diluar dugaan Cendika sama sekali tidak menanggapi, terlihat wajahnya manampilkan mimik sedih sesuai skenario.
“Kang mas,” ulang Cendika. “janganlah begitu, menyukaiku artinya memusuhi seluruh warga desa. Menjadikanku kekasihmu artinya membunuh dirimu sendiri. Sebelum terlambat pergilah. Aku tidak baik untuk berada di sisimu”
"Aku akan kemari lagi esok hari dan seterusnya. Karena bagaimana bisa hariku seperti biasa setelah malam ini. Malam seterusnya akan sulit bagiku, akan hampa, seperti malam yang kehilangan rembulan. Aku akan kemari esok lagi." kata Wawan
"Jika itu keputusanmu maka bersiaplah menghadapi kemarahan warga. Mungkin esok kamu tidak akan kemari. Tapi aku yang menjemputmu dan menemanimu menuju rembulan."
Rembulan di Balik Jendela berakhir dengan laki-laki diamuki warga dan gadis itu bunuh diri di kamarnya, namun dihela napas terakhirnya ia mengucapkan kalimat yang mampu membuat bencana besar yang akhirnya desa tersebut hilang.
“Cihuy... artinya kita jadian kan Cendika?” seloroh Wawan seusai adegan terakhir.
Terlihat Cendika terperanjat karenanya.
‘Sadar diri woy,’ sahut Yudha. ‘Pait.. pait...’ Budi. “Sadar diri woy!” teriak Hans tepat di telingah Wawan yang langsung memancing gelak tawa seisi kelas.
***
Arga menatap punggung Cendika yang menjauh, tentu saja ia meninggalkan kelas dibuntuti beberapa teman cowoknya, di sana ada Wawan, Hans, Budi bahkan ada Edy. Satu hal yang Arga salut dari cewek itu saat ini, bahwa cewek itu total akan perannya, buktinya saat semua anak ‘mengganggu’ aktingnya cewek itu sama sekali tidak terpengaruh.
“Terima kasih,” ucap Mitha sambil mengembalikan buku tulis milik Arga. “Mau ke kantin bareng aku?”. Tawaran yang tidak mungkin Arga tolak, “gimana aktingku tadi?”
Arga membereskan bukunya, “cukup bagus untuk pemula,” jawab Arga.
“Kalau akting si cewek itu?”
Arga mendongak, alisnya terangkat karena tidak mengerti namun cepat ia ingat akan Cendika dan aktingnya. “Sangat bagus,” komentar Arga menjawab seobjek mungkin.
Mitha berkacak pinggang, “kayak begitu bagus?” tanya dengan nada mencela. “Dasar cowok, semuanya sama..”
Arga menggidikkan bahunya, “kamu lagi datang bulan? kenapa sewot banget? Jawabanku objektif,” jawab Arga, ia tidak suka bahwa Mitha menganggapnya sama dengan cowok-cowok lainnya.
“Sudahlah nggak usah bahas cewek sok itu,” sergah Mitha. Arga tidak menyahuti karena memang bukan ia yang mulai membahas Cendika. Tanpa disadari Mitha diam-diam Arga menghela napas, memang cewek adalah makhluk yang rumit. “Kamu nanti ada acara? Temenin aku belanja ya ,”
Arga membimbing Mitha untuk menuju kantin, “maaf Mit, aku nggak bisa sepulang sekolah ada pertemuan dengan anggota baru futsal,” tolak Arga halus. “Lain hari deh,” usul Arga. “Aku juga mau cari kado buat Dita.”
Mata Mitha berbinar mendengar nama Dita-adik Arga yang kedua, memang cewek itu sangat menyukai anak kecil. Sejak tahu Arga memiliki adik perempuan berusia yang tiga hari lagi lima tahun Mitha menjadi lengket dengan adik perempuannya. “Ya ampun aku lupa kalau Dita akan ulang tahun. Oke, berarti besok sekalian kita cari kado buat Dita,” kata Mitha semangat serta ceria. “Bagaimana dengan ayah kamu? Sudah balik ke Papua?”
Arga mengangguk, “Kemarin,” jawab Arga singkat. Matanya menangkap Cendika sedang berdiri di hadapan mading beberapa meter di hadapannya, di sana ia bersama Putra ketua ekskul futsall.
“Kita cari kado apa ya buat Dita, baju kali ya yang ala princes, pasti lucu dipakai Dita,” celoteh Mitha.
Pandangan Arga belum teralihkan pada sosok Cendika yang terlihat begitu akrab dengan Putra. Ia tidak habis fikir, bisa-bisanya cewek itu akrab dengan banyak cowok tanpa ada perasaan risih. Cewek itu terlihat sangat nyaman dengan segala perhatian dan menanggapinya dengan senang hati, semacam... player. Player? Bisa jadi cewek itu player karena memang cewek itu punya modal yang mumpuni. Ia jadi bertanya-tanya dari semua cowok yang berbondong mendekati Cendika siapa yang akhirnya cewek itu pilih. Entah mengapa ia jadi penasaran akan hal itu.
“Ga,” sapa Putra saat Arga serta Mitha melintas di hadapan mereka. “Jangan lupa nanti ya,” ujar Putra mengingat acara nanti sepulang sekolah.
“Ada nggak sih futsall cewek di sekolah ini?” tanya Cendika yang mampu buat Arga serta Putra memusatkan perhatian padanya namun tak lama Mitha langsung tertawa yang membuat semua pandangan tertuju ke arahnya.
“Ada kok, mau daftar?” ajak Putra.
Cendika menggeleng, “nggaklah kak, aku cuma tanya aja sih,” jawab Cendika yang ditutup oleh cengiran dan langsung dibalas sebuah senyuman oleh Putra.
“Lagian mana bisa, jatuh nanti nangis lagi,” sahut Mitha dingin.
Cendika menegakkan badannya, “Kalau nggak bisa nangis malah harus berobat,” jawab Cendika dengan nada jenaka. “Ya nggak kak?” ucapnya meminta dukungan pada Putra.
“Iyalah, semua orang perlu nangis, itu kan kegiatan yang sehat,” seloroh Putra dengan nada jenaka pula yang langsung disambut senyuman Cendika.
“Aku pernah baca sih, sebuah artikel yang bilang kalau menangis adalah pelepasan emosi yang sehat, sama halnya olah raga yang baik untuk membangun emosi positif,” kata Cendika pada Putra dengan nada yang masih jenaka.
Putra tertawa kecil, “berarti bisa dicoba tuh, main futsal sambil nangis,” balas Putra.
Arga melirik Mitha yang terlihat sangat gusar. “Kalian mau ke kantin?” kata Arga cepat menyesal Putra yang akan berkata-kata. “Aku sama Mitha akan ke kantin,” lanjutnya. Cendika menggeleng yang langsung disusul oleh gelengan Putra, diam-diam Arga berterima kasih karena Cendika menggelengkan kepala karena dengan begitu Putra akan melakukan hal sama. “Kita jalan duluan ya,” ucap Arga yang langsung menggiring Mitha menuju kantin sebelum cewek itu semakin kesal.
Sekali lagi, Arga menoleh sekilas untuk melihat Cendika terakhir kalinya, kemudian tersenyum kecil secara diam-diam. Cara Cendika menanggapi perkataan Mitha yang dingin sangat bagus, terlihat sangat cerdas terlebih saat cewek itu sangat bisa mengendalikan emosinya hal tersebut sangat patut diacungi jempol. [.]
***
==========================================
Mungkin ini novel karya terakhir adik Lia, karena diedit terakhir adalah bulan maret tahun 2019, tahun adik meninggal dunia (semoga Amal Ibadahnya diterima Allah dan segala kesalahannya di ampuni - dan mohon maaf jika beliau ada salah dengan kalian) - di nama file tertulis dikirim februari - kemungkinan file ini telah dikirim ke penerbit (entah mana) - > jika ada yang diberikan adik lia hak untuk menerbitkannya dengan disertai bukti, maka saya akan menghapus post ini jika memang itu yang dikehendaki, monggo ...
0 Response to "BAD BETTER (3)"
Posting Komentar