AWAL
Langit sangat cerah pagi ini, sayangnya, langit tersebut menciptakan hujan yang sangat lebat. Suatu perpaduan yang tidak serasi. Di luar restoran, terlihat orang-orang berseliweran, entah berjalan menggunakan payung, entah mengendai motor dengan memakai jas hujan, atau menaiki mobil. Suatu pemandangan yang sering kali kulihat dan selalu membuatku teringat sebuah kalimat. Life must go on. Dunia akan terus berputar tidak peduli kondisimu seperti apa.
Life must go on, kalimat itu benar-benar paling menjengkelkan. Slogan keegoisan yang kini banyak orang gaungkan dan lakukan. Bayangkan, ketika kau berada di titik terendah, memerlukan waktu untuk mengasihani diri, tapi yang terjadi ketika kau berada di titik itu semuanya terus berjalan, tidak mempedulikan dirimu, kemuramanmu. Dari semua itu, yang paling menjengkelkan adalah karena semua akan berjalan secara normal, dengan kondisi yang menyedihkan kau harus berjalan pula, agar kau tidak kalah dengan yang lain. Yup, dunia penuh kompetisi. Ironi.
Kembali pada hujan, entah mungkin karena pagi ini adalah awal yang baru maka dari itu langit pun cerah meski hujan turun begitu derasnya. Awal, jika takdir memang merancang pagi ini sebuah awal baru untuk masa-masa muram, baiklah aku siap menghadapinya.
“Maaf, apa Anda Ibrahim?” tanya seorang wanita umur kisaran dua puluh lima tahun, ia menggunakan kerudung yang tidak begitu panjang, tidak seperti yang digunakan Umi serta para saudari-saudariku, tentu bukan model jilbob, jilbabnya ditata rapi dan santun dengan menupi bagian dadanya. Wanita itu memakai pakaian kantor Dialah orangnya, yang mungkin akan menjadi awalan bagi hidup baru saya.
“Ya, saya Ibrahim, Anda Aurora? Putri ibu Nikmah?” saya menyahuti sambil melemparkan senyum terbaik. Kau tanya ini pura-pura tentu bukan.
Aurora, seorang wanita yang bersedia dijodohkan ibunya pada saya. Memang, ini sudah abad 21 tapi bagaimana lagi, saya dilahirkan dalam keluarga yang konservatif, beruntungnya orang tua saya tidak terlalu kolot dan menyekolahkan saya hingga mencapai strata dua. Kembali pada Aurora, pertemuan pertama setahun lalu dia sangat membuat saya terkesan tentang argumennya di sebuah seminar yang kebetulan mengundang saya dan Aurora sebagai nara sumber membahas tentang LGBT dan siapa sangka wanita yang membuat saya kagum setahun lalu kini duduk di hadapan saya.
“Senang bertemu Anda lagi, saya tidak mengira kalau Anda orangnya,” seru Aurora membuka pembicaraan, suaranya begitu renyah, sikapnya yang tenang dan wajah yang begitu menyejukkan miliknya benar-benar membuat saya nyaman, seperti setahun yang lalu.
“Saya juga merasa begitu,” hanya itu saja yang bisa saya katakan. Saya bukan orang yang bisa berkata panjang lebar, terlebih pada orang yang baru saya kenal, kecuali saya dipancing untuk bicara terlebih dahulu.
“Rasanya Anda lebih pendiam dari apa yang saya kira. Setahun lalu, Anda terlihat begitu agresif ketika menyampaikan materi dan menjawab pertanyaan peserta seminar. Apa saya pancing dulu membahas keilmuan Anda agar Anda bisa agresif menyampaikan pandangan Anda seperti setahu lalu?” kata Aurora dengan nada jenaka setelah beberapa saat tidak ada yang membuka suara.
Saya hanya bisa tersenyum, tentu saja saya sangat agresif dalam bidang tersebut. Orang-orang terdekat banyak yang mengibaratkan saya dengan gua hantu, nampak tenang dari kejauhan, namun ketika sudah memasuki, para hantu muncul dan menggemparkan.
“Aurora, kenapa Anda menerima perjodohan ini?”
Aurora tersenyum simpul, “Saya tidak akan menutupi masa lalu saya, enam bulan lalu saya gagal bertunangan dengan mantan saya, dan ketika semua masa-masa menyedihkan itu berlalu, ibu saya mengabarkan perjodohan ini. kemudian saya menerima, karena tidak ada salahnya bukan untuk memulai sesuatu yang baru ketika semuanya sudah terasa putih.”
Jawaban yang sangat jujur. Saya tersenyum menanggapi keterbukaan tersebut.
Setengah tahun, dan semuanya sudah putih? Hebat juga wanita ini.
“Kalau Anda, kenapa menerima perjodohan ini?”
“Umur saya sudah dua puluh delapan tahun, beberapa bulan lagi dua puluh sembilan. Sunnah, yang belum saya kerjakan adalah menikah. Hampir setiap saat, anggota keluarga terus bertanya kapan nikah. Setiap kesempatan mereka menjodoh-jodohkan saya. Ya, begitulah, dan sekarang duduk di sini menghadiri perjodohan untuk kesekian kalinya,” jawab saya yang tidak kalah terbuka.
Terlihat Aurora tertawa kecil, “Sudah berapa perjodohan yang kamu hadiri?”
Saya langsung berfikir keras, Nuri, Saidah, Alya, Maula, Linda, Rara, Anti, Nur, siapa lagi? Ugh, saking banyaknya saya tidak mengingatnya, karena ketika itu saya menemui mereka dengan setengah hati, tidak benar-benar ingin mengenal mereka terlebih mempersunting mereka.
“Saya lupa jumlah tepatnya.”
Aurora terkikik geli, “Apa Anda seseorang yang pemilih?”
“Untuk menempatkan seseorang sebagai belahan jiwa kita, harus betul-betul terpilih bukan?”
Aurora tertawa kecil lagi. Bibirnya yang mungil terlihat menggemaskan ketika tertawa seperti sekarang. Saya mengalihkan pandangan, ini belum saatnya melihat wanita sedetil itu.
“Jadi apa kamu setuju melanjutkan pertemuan ini di hari lain?”
*****
PUTIH
“Jadi apa kamu setuju melanjutkan pertemuan ini di hari lain?”
Pertanyaan itu mengagetkan saya. Saya memandang laki-laki yang ada di hadapan saya. Ibrahim, seorang dokter spesialis anak. sebuah sosok yang telah digambarkan begitu jelas oleh mama seminggu lalu. Seorang putra dari kyai pondok pesantren di kota Malang, seorang putra yang begitu dibanggakan oleh ibunya.
Empat hari lalu, ibu Ibrahim yaitu bu nyai Aini berkunjung ke rumah, bersama mama yang merupakan santrinya merencanakan pertemuan pagi ini.
Laki-laki yang jauh berbeda dengan seorang masa lalu. Sejauh ini saya menduga Ibrahim seorang yang introvert. Satu hal yang saya sukai dari Ibrahim, melihatnya membuat saya nyaman, dan rasanya saya merasa terlindungi. Entahlah mengapa saya bisa secepat ini merasa nyaman dengannya, mungkin ini yang namanya jodoh?
“Kalau kamu sreg sama saya, saya lebih setuju kamu langsung menemui orang tua saya,” kata saya.
Umur saya sudah dua puluh lima tahun, banyak orang termasuk keluarga mempertanyakan kapan saya menikah, dan yah, ini sudah saatnya saya menikah. Mungkin dengan seorang Ibrahim.
*****
Putih. Ketika hatimu tidak ada yang menempati, tidak ada satu nama yang tinggal di dalamnya, dan tidak ada gimik-gimik getaran rasa di dalamnya, maka itu yang namanya hati yang sedang putih. Tidak ada goresan, dan sedang siap untuk digores, diajaknya meliauk-meliuk disertai gimik-gimik selayaknya cinta yang akan tumbuh.
Malam ini, setelah dua minggu pertemuan itu Ibrahim datang bersama rombongan keluarganya untuk melamar.
Ibrahim, setelah malam ini nama itu akan saya tempatkan di sudut hati saya, biar berkembang, biarlah nama itu memenuhi hati saya dengan status suami saya.
*****
Ibrahim,
Life Must Go On
Kalimat tersebut baru bisa kuresapi ketika diucapkan oleh seseorang dari masa lalu. Ketika itu, sore nan hangat menyelimuti sebuah lapangan tempatku biasanya bermain sepak bola dengan teman-teman. Usiaku baru enam belas tahun saat itu, aku belum mengerti sepenuhnya apa itu cinta, aku hanya seorang remaja tanggung yang sedang menyukai salah seorang gadis. Namanya Maula, usianya dua tahun di atasku, aku sering melihatnya ikut mengantar Umi pulang seusai mengajar agama di pondok pesantren, yup, aku adalah anak seorang kyai dan bu nyai di sebuah pondok pesantren di Malang. Maula tahu aku menyukainya, namun ia tidak menyukaiku, justru ia memberiku sebuah undangan pernikahannya tepat seminggu setelah ia lulus madrasah aliyah atau setingkat SMA. Aku hadir dalam resepsi pernikahannya, dan kalimat itu terucap dari bibirnya ketika aku memberi ucapan selamat padanya. Life must go on, Ibrahim. Lupakan aku, jalani kehidupanmu dengan baik.
Nb. 3/21/2016
0 Response to "novel religi - Life must go on"
Posting Komentar