Kapan Kita Menikah? (2)


2
Patah hati bukanlah momen yang special lagi, tidak seperti pertama ia alami beberapa tahun lalu tepatnya sepuluh tahun lalu ketika Denda duduk di bangku kelas 1 SMA. Patah hati pertama itu agaknya yang mengiriminya sistem imun yang sangat efektif meredakan sakitnya patah hati yang kedua dan ketiga. Yup, ketiga, tepat usia Denda yang menginjak 25 tahun, di saat persiapan sebuah hubungan akan diresmikan di mata hokum dan agama tiba-tiba ia harus mengalami patah hati. 
Patah hati ini sama sekali tidak mengganggunya, tidak ada tangis sedikitpun, penyesalan dan ibah terhadap diri sendiri seperti biasanya. Yang tertinggal adalah rasa syukur karena tidak perlu menikah dengan seorang yang pengecut. 
Belajar dari rumah tangga bapak dan ibunya, Denda dengan mantap mengajukan persyaratan mutlak yang harus dimiliki oleh suaminya, yaitu gantlemen. Dahulu kala bapaknya kuliah dan mendapatkan gelas sarjana muda jika saat ini setara dengan d3) di bidang eknomi, kemudian ibu Denda menyusul mendapatkan gelar sarjana pendidikan (s1) tapi yang diketahui, tidak sekalipun bapaknya minder dengan gelar tersebut, bahkan dengan sangat gantle bapak Denda memberi sinyal hijau jika ibu Denda mengambil master guna keperluan tugasnya sebagai guru. Namun calonnya ini? Belum apa-apa langsung melarangnya bekerja sesaat setelah Denda berhasil naik jabatan serta mendapatkan tugas belajar yang dibiayai sepenuhnya oleh kantor menjadi ibu rumah tangga full time, sangat berbanding terbalik dengan kesepakatan awal mereka. 
Denda mempunyai prinsip ‘maju untuk sukses’ dimana maksudnya ia harus terus bergerak dan memperbarui segala aspek dalam dirinya agar dapat menjadi lebih baik dari sebelumnya. Karena prinsip itulah ia selalu menasehati dirinya, ‘ia yang tidak terlalu pintar harus melakukan usaha lebih untuk pintar, ia yang memiliki system imun yang kurang bagus harus melakukan sesuatu untuk lebih kuat, dan banyak hal lainnya agar tidak tertinggal, tidak berada pada posisi yang menyedihkan’. 
Telisik lebih jauh, bukannya Denda meremehkan pekerjaan ibu rumah tangga, bahkan ia sangat salut pada wanita yang memilih menjadi ibu rumah tangga full time, hanya saja dari kecil ia sudah memimpikan dirinya sebagai wanita karir serta ibu rumah tangga kelak ketika ia sudah menikah seperti ibunya. Ia ingin mencontohkan secara real pada anaknya bagaimana orang yang sukses dengan pekerjaannya dan keluarganya melalui dirinya dan suaminya kelak, seperti yang dilakukan bapak dan ibunya. Maka itu sebabnya sejak muda Denda bekerja keras untuk mewujudkan itu. 
Denda menyadari bahwa cinta sangatlah membuat buta, tapi ini bukan masalah cinta saja, ini berumah tangga, harus realistis, karena selangkah salah dalam menentukan pasangan maka itu dapat mencelakakan banyak pihak terlebih anak keturunannya kelak. 
Maka inilah keputusan Denda yang paling realistis. Sams. 
“Jadi kapan kita menikah?” pertanyaan itu muncul seketika setelah otak bekerja dengan sangat keras dalam waktu singkat. 
**** 


tertulis terakhir di edit di file almh. Lia el Muslich 9/7/2018
(edisi mengenang adik Binti Iliyah Faridah ..... semoga kebahagiaan selalu untuk Bapak dan Adik ..... Saya mencoba akan mengposting file2 dalam folder Novel Q oleh Lia El Muslich agar karya beliau tetap ada yang menikmati, mungkin juga ada manfaat yang didapat)

0 Response to "Kapan Kita Menikah? (2)"

Posting Komentar