“Kalau begitu temui aku sekarang di kafe biasanya.”
Telepon tersebut langsung dimatikan.
Entahlah harus tersenyum atau bagaimana mendengar suara orang yang dicinta ingin bertemu setelah sekian hri tidak bertatapmuka, agaknya rindu tidak lagi bisa ditahan, segera harus dilepaskan. Namun yang ada, bukan bibir yang tertarik ke samping melainkan hembusan napas keras yang keluar.
Rindu. rasa itu masih ada, sangat kuat dan tak tertahankan, tidak mungkin akan ditahan lagi maka dari itu Jeni memilih untuk membasuh wajahnya dengan air, beranjak pergi dari toilet sebuah gedung yang akan ia ingat dan menjejakkan kakinya ke sebuah tempat yang selalu spesial untuknya dan pasangannya.
Di sebuah bangku yang berada di dekat panggung musik, laki-lakinya sedang duduk lalu melambaikan tangan ke arahnya saat menyadari kehadiran Jane. Seperti biasa laki-laki selalumengenakan kaos polo dengan celana jins yang cukup belel, penampilan tersebutlah yang membuat Jane tertarik padanya. Humble, sangat simpel, serasa tidak ada beban, itu adalah kata yang pas untuk menggambarkan laki-lakinya.
Ia tarik bibirnya agar menampilkan sebuah senyuman.
“Aku kangen banget sama kamu,” katanya, menyambut kehadiran Jane.
Sekali lagi Jane tersenyum, “aku juga.”
“Bagaimana harimu?”
Sekian kalinya jane tersenyum, “Baik, kamu sendiri?
Cerita itu pun keluar dengan sangat mengebuh-gebuh, sebuah keberhasilan menakhlukkan klien dengan presentasi yang mengesankan, kerja sama bernilai puluhan juta dolar, sebuah promosi jabatan, kenaikan gaji, pujian dan hal lainnya yang harusnya membuat Jane bahagia serta bangga namun hal itu ia rasakan hanya secuil. Yang terbesar adalah rasa iri dan rendah diri.
Berjam-jam lalu, sebelum telepon dan kafe ini ada sebuah cerita mengiris hatinya, meninggalkan sebuah malu yang luar biasa. Namun apalah arti cerita pilu tersebut dibandingkan cerita penuh bahagianya.
“Luar biasa,” puji Jane akan cerita laki-lakinya.
Laki-laki tersebut mengibaskan sebelah tangannya dengan senyuman penuh makna, “dan hal terbesarnya adalah aku sudah mengundang kedua orang tuamu dan orang tuaku untuk makan malam hari ini,” katanya. “Aku ingin melamarmu secara resmi di hadapan kedua orang tua kita nanti malam.”
Deg! Jane terperanjak, kemudian mematung.
“Saat kita sudah menggapai impian masing-masing, ayo kita menikah.” Sebuah janji yang dilakukan oleh sepasang kekasih dengan segala impian yang mereka punya. Empat tahun yang lalu. Tahun dimulai penggabungan sebuah cita-cita dengan cinta. Berjalan bersama menuju impian. Saling menguatkan satu sama lain saat menghadapi rintangan. Tapi entah dimulai dari mana perlombaan itu ada. Perlahan keeogoisan datang. Semuanya berlalu begitu saja kemudian mereka berada pada hari ini saat ketimpangan itu ada.
“Kenapa kamu tidak membicarakannya dulu padaku?”
Laki-laki itu melongoh namun cepat ia bisa mengendalikan dirinya. “Sebetulnya ini sebuah kejutan untukmu, tapi mau bagaimana lagi seperti yang kamu tahu aku tidak bisa menyimpan sebuah rahasia padamu. Yang pasti, nanti akan menjadi malam yang spesial untuk ki--”
“Stop!” seru Jane tegas.
“Hey, kamu kenapa?”
“Siapa yang bilang aku setuju akan rencanamu?”
“Apa?”
Jane tidak menanggapi, menciptakan sebuah hening di antara mereka.
“Itu impian kita. Sebuah pertunangan yang hanya dihadiri kedua orang tua kita. Lalu kita menikah---”
“Cukup!”
“Apa maksudmu? Ada apa denganmu?”
Jane berdiri dari kurisnya. “semuanya berubah. Dan kita tidak seperti yang dulu.” Jane menengadahkan kepalanya, “Semuanya berakhir” katanya lalu beranjak pergi.
Tiap langkahnya seakan kembali menyusuri perjalanan panjang yang ia dan laki-laki itu lalu. Ini tahun keenam mereka bersama, tidak mungkin bisa mudah bahkan hari ini adalah hari yang paling sulit selama enam tahun kebersamaan.
“Ada apa denganmu? Kekonyolan apa lagi yang kamu lakukan? hah?” ujar laki-laki itu.
Langkah Jane terhenti. Ia membalikkan badannya. Laki-laki itu berdiri di meja mereka tadi. Jane mengedarkan pandangannya. “Ini bukan panggungmu!” sahut Jane menahan rasa malunya lalu menjauh dengnan langkah yang lebar.
Semuanya sudah berakhir.
Laki-laki tersebut berlari mengejak tangannya menarik tangan Jane agar gadis ituyang kini berusia dua puluh delapan tahun berhenti “Apa katamu? Semuanya berakhir? Belum!”ujarnya dengan nada tinggi, kemarahan jelas terlihat dar mata teduhnya “Semuanya yang kita lewati kamu ingin mengakhirinya begitu saja?”
Rasanya ada bom yang bersarang dalam kepala Jane lalu dengan begitu saja meledak. Hal tersebut adalah kemarahannya. “Ini juga nggak mudah buat aku!” bentak jane. “tapi aku nggak mau menikah dengan laki-laki yang perlahan sudah tidak mengerti aku! kamu kira senyumanku tadi semuanya karena aku sedang bahagia? Tidak! Semuanya adalah senyuman kepura-puraan!”
Laki-laki itu terperanjat.
“Sudah berlangsung lama.” Tambah Jane sendu. “Kita masih menjalani enam tahun dan kamu sudah mulai kehilangan kemampuan untuk mengenaliku lalu bagaimana jika nanti? Aku tidak mau menikah dengan laki-laki yang tidak mampu mengenali senyuman bahagia dan senyuman yang terpaksa agar terlihat bahagia.”
“Kamu tahu? Hari ini adalah hari terburukku. Dipermalukan dengan cara diabaikan karena kemampuan menyanyiku yang katanya standart. Aku menuju toilet, mengeluarkan air mata untuk melepaskan kesedihanku. Lalu menerima telepon dan pura-pura tersenyum di hadapanmu.”
Tangan Jane menepuk udara untuk menghentikan laki-laki itu berbicara.
“Pengabaian orang lain sangat menyakitkan. Tapi yang jauh lebih menyakitkan adalah pengabaian orang yang kita cintai.”
Jane menengadahkan kepalanya lagi. “Semuanya sudah berubah menjadi hal yang tidak aku sukai, aku tidak mendapatkan kenyamanan dalamnya. Jadi keputusan yang tepat adalah mengakhiri hubungan yang tidak lagi membuat kita saling mencintai satu sama lain seperti dulu.”
Berakhir.
***
Nb. 3/3/2017
0 Response to "Cerpen terakhir"
Posting Komentar