1
Tiga belas hari setelah semuanya terjadi, mestinya waktu tersebut sudah cukup lama untuk menjadi episode kesedihan bagi Shehra. Namun yang terjadi, nampaknya masa tersebut akan bertambah panjang. Shehra belum juga berani menghadapi dan menyelesaikan semua permasalahannya utamanya pada Satria.
Seperti sebelum-sebelumnya bahkan jauh sebelum peristiwa pertengkaran itu terjadi Shehra melewati rumah Satria untuk menuju taman kanak-kanak tempatnya mengajar. Selama tiga belas hari Satria tidak terlihat ada di pekarangan rumahnya, padahal sebelumnya jadwal harian Satria adalah duduk di pekarangan rumahnya sambil memainkan gitarnya ditemani segelas susu rasa vanila.
Shehra menghentikan langkahnya setelah sekian langkah melewati rumah Satria. Ia menoleh ke belakang, berfikir akan berbalik arah kemudian membuka pagar rumah Satria untuk mencari laki-laki tersebut atau sekali lagi ia mengurungkan niatnya untuk meminta maaf pada Satria.
“Kamu adalah cowok paling kurang ajar yang pernah aku kenal!” seru Shehra setelah menerobos masuk ke rumah Satria tanpa mengetuk pintu bahkan mengucapkan salam seperti biasanya. Shehra tidak mengkhawatirkan tentang sikapnya yang tidak sopan tertangkap orang tua Satria, karena sejak tiga tahun lalu orang tua Satria pindah ke Malang untuk menjaga nenek Satria yang sakit-sakitan. Tapi ia khawatir jika teriakannya terdengar tetangga, maka dari itu ia mengurangi volume suaranya. “Kamu sahabat aku apa bukan sih?”
“Ada apa? kenapa kamu marah-marah?”
“Nggak usah sok nggak ngerti. Apa maksud kamu bayarin ganti rugi yang menjadi tanggunganku?” Satria tertegun, “Kita udah kenal sejak kecil tapi sayangnya kamu masih nggak ngerti aku. Aku cerita masalahku tapi bukan berarti aku minta kamu yang menyelesaikan masalahku,” Shehra diam sejenak dan mendapati raut muka Satria yang memucat. “Apa yang kamu lakuin itu sama saja ngejatuhin harga diriku!”
Shehra menangkap gerakan mulut Satria yang menandakan akan mengeluaran kata-kata namun sebelum itu, Shehra berkata, “Kamu kira aku nggak sanggup bayar ganti rugi? Di antara aku dan kamu yang paling kere adalah kamu, bahkan sampai sekarang kamu belum kerja. Jangankan kerja, kamu aja masih belum lulus kuliah. Tapi berani-beraninya kamu ngelakuin ini!”
“Ra, ini masalah sepele kenapa kamu jadi semarah ini?”
“Masalah sepele? Enak aja ngomong kayak gitu!” semprot Shehra. “Aku udah transfer ke rekening kamu dan ini struknya. Jangan lagi kamu berani ngelakuin ini,” kata Shehra lagi lalu pergi meninggalkan Satria.
“Satria,” seru Shehra, kakinya melangkah mendekati rumah Satria. Ia menjatuhkan pilihan pada ungkapan permohonan maaf pada Satria. Tangannya terulur untuk membuka pagar namun hal itu terhenti karena pagarnya digembok. Jika begitu hanya 2 kemungkinan, Satria sedang pergi ke suatu tempat yang jauh atau Satria belum bangun tidur. Namun, yang kedua rasanya sangat mustakhil. Satria bukan tipe orang yang bangun kesiangan.
Shehra kembali menyerukan nama Satria beberapa kali namun Satria tidak jua menampakkan diri. Ia mengambil ponselnya dalam tas bermaksud untuk menelpon laki-laki itu namun yang ia dapatkan adalah suara operator telepon. Satria tidak mengaktifkan ponselnya.
‘Apa aku sebegitu memuakkan kemarin sehingga kamu semarah ini? Kamu dimana Satria? Aku ingin memperbaiki semuanya, persahabatan kita.’
*****
Suasana sekolah seperti biasanya, diramaikan oleh celotehan anak-anak, tawa riang mereka, dan tak jarang ada suara tangisan salah seorang anak. Shehra menatap taman bermain yang dipenuhi oleh para siswa di balik jendela kelas tempatnya mengajar, tidak seperti biasanya kali ini ia enggan menghabiskan waktu istirahat di kantor untuk berbincang-bincang bersama rekan guru ataupun berada di taman bermain menemani serta mengawasi para siswa.
Suara telepon mengagetkannya yang memang ia sedang setengah melamun. Ia membaca nama yang tertera di layar, bukan nama seseorang yang sedang ia tunggui teleponnya.
“Mbak Shehra? Kapan mbak bisa melunasi ganti ruginya pada saya?” ujar orang di seberang sana yang langsung mengungkapkan pokok permasalahan.
Shehra menghela napas, ia tahan dirinya untuk tidak mengeluarkan kata-kata yang akan semakin membuat keadaan runyam. “Selamat pagi ibu Indah, saya sudah bilang pada ibu bahwa saya akan melunasinya awal bulan yang artinya lima belas hari lagi,” Shehra diam sejenak. “Akan tetapi, jika memang ibu benar-benar membutuhkan uangnya saya bisa melunasinya secepatnya. Saya akan mentransfer uangnya sore ini,” kata Shehra.
“Bagus kalau begitu. Saya tunggu kabar selanjutnya,” jawab si penelpon dan tanpa menunggu balasan dari Shehra, ia langsung menutup teleponnya.
Sebisa mungkin Shehra tidak berdecak, dalam hati ia berjanji setelah urusan ini selesai ia tidak akan mau terlibat dengan orang ini. Ia mengenalnya pertama kali lewat salah seorang temannya satu tahun lalu. Ibu tersebut menghubunginya karena tertarik dengan produk aneka perhiasan yang ia jual. Sebelumnya, semua transaksi jual-beli berjalan dengan lancar, hingga akhir bulan lalu perhiasan yang dipesan oleh ibu Indah ternyata palsu. Memang ini salahnya karena sebelum mengirim pada si ibu ia tidak memeriksanya terlebih dahulu, ditambah lagi suppliernya perhiasan tersebut adalah supplier yang baru bekerja sama dengannya, ia kecolongan dalam melihat latar belakang supplier tersebut, ia hanya melihat produknya saja dan ketika ada masalah seperti ini mereka pergi membawa uang yang tidak sedikit. Ada tiga orang yang mengalami hal ini, dan semuanya menuntut ganti rugi, namun dari ketiga orang tersebut ibu inilah yang paling menyebalkan.
Shehra sudah melaporkan hal ini pada pihak kepolisian namun hingga dua minggu lebih sejak pelaporan belum juga mendapatkan kabar apa-apa padahal ia menanggung kurigian sebanyak tiga puluh satu juta rupiah dan jumlah tersebut bukan jumlah yang sedikit terlebih untuknya yang hanya seorang guru tk serta penjual yang belumlah mempunyai banyak keuntungan.
Tidak mau mengalami hal serupa yaitu ditagih hutang yang sebetulnya bukan sepenuhnya kewajibannya, ia segara menelpon dua orang lainnya. Terpaksa, ia harus merelakan tabungannya yang akan ia gunakan untuk melanjutkan kuliahnya untuk melunasi ganti rugi pada ibu-ibu tersebut.
Satria..
Tiba-tiba saja nama itu melintas, hanya Satria yang tau tentang konsidinya ini. Namun, laki-laki itu sedang marah padanya. Seandainya ia bisa menahan emosinya, pasti Satria.... . Shehra menghentikan angannya, tidak ada gunanya berandai-andai pada masa lalu karena itu tidak akan pernah membantu.
*****
Shehra menatap nanar struk setelah mentransfer sejumlah uang pada tiga orang pelanggannya, uang yang tersisa hanya dua juta saja. Ia benar-benar kehilangan uangnya. Sejak masa kuliah ia selalu berusaha menabung sisa uang jajannya bahkan ia mengumpulkan uang lewat bekerja freelance sebagai tutor sebuah bimbingan belajar. Ia yang tipe perempuan tidak suka belanja serta sangat hemat-mampu menabung hingga jumlahnya dua puluh juta lebih, kemudian uang itu semakin bertambah ketika ia bekerja sebagai guru serta ia menjalankan usaha ini. Namun, akhirnya berakhir seperti ini. Dan impiannya akan uang itu sudah hancur berkeping-keping.
Shehra melangkah dengan lemas meninggalkan atm di sebuah mini market dekat rumahnya. Langkahnya sekali lagi terhenti ketika melintasi depan rumah Satria. Sama seperti sebelum-sebelumnya, rumah itu terlihat sepi dan pagarnya masih digembok.
*****
Nb. 5/29/2016
0 Response to "Novel-Wattpad STUCK IN REVERSE (3)"
Posting Komentar