Matanya terbuka, ia menatap langit-langit yang berwarna putih, bau obat-obatan tercium olehnya. Pasti ia sedang ada di rumah sakit. Ia mencoba menoleh ke kanan dan kiri, tidak ada orang di ruangan itu selain dirinya. Bayangan kejadian sore berkelebat dibenaknya, kejadian tadi bukan mimpi, semuanya nyata.
Ada guncangan kecil pada tubuhnya, kemudian ia merasakan air bening mulai menetes dari matanya. Ia menutup matanya lagi. Rasa sakit itu, masih sangat terasa dan tak mau pergi. Ia memukul-mukul dadanya yang terasa sakit, ia benci dengan perasaan ini.
Dadanya naik turun tak beraturan dan rintik air bening itu bermunculan. Taukah dia, ia sangat merasa kesakitan setiap dia datang dan beningnya sangat melukai hati, jadi kenapa masih saja muncul? Kenapa?
Tuhan kenapa perasaan kehilangan itu sangat menyakitkan? Kenapa perasaan dikhianati juga sama sangat menyakitkan? Apa tidak ada perasaan yang bisa membuatku senang? Kenapa harus merasakan ini semua? Sakit... Tuhan.
Diam-diam ia melepas infusnya. Ia bangkit dari kasur dan berjalan keluar dari kamar inapnya. Ia berjalan menuju taman rumah sakit, ia ingin menghilangkan semua rasa sakitnya di sana. Di sana juga ia pernah menangis sekencang-kencangnya ketika Mama serta Awi meninggal, 2 tahun lalu.
Dalam perjalanan sayup-sayup Kina mendengar suara berisik dan isak tangis. Ia menghentikan langkahnya tepat di depan ruangan dokter dan asal suara tersebut. Semakin ia dengarkan, semakin ia kenal suara siapa itu dan suara siapa yang sedang menangis. Mungkinkah suara dengan nada besar itu milik papa dan suara rendah penuh ketenangan adalah milik dokter Jo, sedang suara tangisan itu milik si nenek berbulu bunglon?
Kina menatap plang atas dekat pintu ruagan tersebut. Dr. Jonathan W.A, spesialis kanker. Mata kina terbelalak, yah suara itu pasti milik orang-orang itu.
“Lalu bagaimana setelah ini dok? Apa Kina harus melakukan kemo seperti dulu?” terdengar suara berat milik papanya.
“Jika hasilnya positif maka itu yang akan kita lakukan, tapi masih ada kemungkinan hasilnya negatif. Semoga semua diagnosa saya salah. Kita tunggu hasil lab-nya saja pak, bu,” kini terdengar jawaban dari dokter Jo.
Dan kembali Kina mendengar suara tangisan dan tanpa terasa air matanya juga ikut terjatuh. Tak mau berlama-lama mendengar pembicaraan itu ia segera berjalan kembali menuju taman rumah sakit.
Brrraaakk....
Auuuwww... pekik Kina kesakitan. Ada seseorang yang tiba-tiba saja menabraknya, ia mengeram kesakitan.
“Sorry... sorry.. nggak segaja,” ucap seorang cowok sambil membantunya berdiri. Untuk sesaat cowok itu nampak memperhatikan penampilannya. “Sebaiknya kamu kembali ke kamar kamu,” ucapnya lagi. Mungkin itu karena ia sedang memakai pakaian rumah sakit.
Kina tidak menggubris ucapan cowok itu, ia hanya menatapnya sekilas dan entah apa yang menyilanap dalam kepalanya, sepertinya ia tidak asing dengan cowok itu. tapi buru ia memhempaskannya. Ia melanjutkan langkahnya menuju taman. Seiring langkahnya maju, sayup-sayup terdengar suara langkah kaki dibelakangnya. Ia tidak memperdulikannya dan terus berjalan, tanpa alas kaki, tanpa jaket yang menghangatkan tubuhnya. Sesampainya di taman rumah sakit, Kina duduk dibangku panjang. Ia mengedarkan pandangannya di seluruh sudut taman, masih sama. Taman ini masih terasa mengerikan dan masih akan selalu sama-menyimpan semua kesedihannya.
Ia menatap langit yang hitam, tak ada bulan dan tidak ada bintang di sana. Ia tidak sendirian, ia merasa beruntung karena dapat merasakan kehampaan bersama langit. Ia memejamkan matanya agar dapat merasakan kehampaan itu, tapi yang ada ia malah merasakan rintik air mata itu lagi. Rasa sakit itu kembali muncul.
Tiba-tiba tubuhnya terasa hangat, ada selembar kain yang menghangatkannya. Kina membuka mata dan mendapati sesosok cowok yang menabraknya tadi sedang duduk di sampingnya. Kina menatap tubuhnya yang terbalut jaket cowok, mungkin milik cowok itu. Mendapatkan kehangatan itu, rasa sakit itu semakin terasa dan meluap begitu saja. Tangis Kina pecah ketika cowok itu meletakkan kepalanya pada bahunya. Dibahu cowok itu. Ia menangis tersedu-sedu di temani sang malam dan seorang cowok yang tidak ia kenal. Tapi entah mengapa bersandar dibahu cowok itu, ia merasa lebih nyaman dan terlindungi.
*****
Nb. 4/27/2015
0 Response to "cuplikan - Rasa sakit itu, masih sangat terasa dan tak mau pergi"
Posting Komentar