Begitu saja sudah cukup menyakitkan, jadi ku pilih ini
Sebelumnya Tak Pernah Ada yang Datang Sepertimu
Sejak sepuluh menit lalu dering telepon tak henti-hentinya mengusik keheningan kamar padahal di luar sana malam telah semakin larut. Panggilan yang ke sepuluh kalinya, tapi tak jua membuat si pemilik handphone mengangkatnya. Zeze justru hanya menatap layar handphone yang berdering itu dengan jengah. Kapan berhentinya? pikirnya.
“Mbak, teleponnya diangkat dong, berisik. Aku pengen tidur nih,” ujar Gia yang tidur di ranjang sebelah. Kamarnya dan Gia-adiknya memang berada di satu kamar yang hanya berbatas dengan tirai. “Disilent deh kalau nggak mau angkat,” lanjutnya dengan nada jengkel.
“Udah, tidur aja, nggak usah meduliin suara ini. Dari tadi aku nyoba matiin nggak keburu karena dia langsung nelpon lagi.”
Terdengar suara dengusan tak suka di balik tirai. Tak lama kemudian Gia menyibakkan tirainya dengan kasar, wajahnya terlihat kesal. Tanpa diduga Gia langsung berjalan ke arah nakas lalu melihat layar handphone kakaknya untuk mengetahui siapa yang telepon, bibirnya langsung membentuk huruf O ketika melihatnya karena sedikit banyak ia tahu tentang si penelpon dan kakaknya. Tanpa diduga Gia langsung menekan tombol ‘yes’ untuk mengangkat panggilan tersebut.
“Hallo. Ini Gia. Kak Zeze-nya lagi nggak mau angkat telepon kakak, sedangkan dari tadi aku ngerasa ke ganggu banget, jadi apa bisa kakak berhenti nelpon? Aku pengen tidur, besok aku harus sekolah. Terima kasih.” kata Gia to do point dengan nada sesopan mungkin. Sebelum mendengar jawaban dari sang penelpon Gia langsung mematikannya.
Menyaksikan itu, Zeze hanya geleng-geleng kepala akan aksi adiknya. Adiknya yang ceplas-ceplos sepertinya bisa diandalkan untuk mengatasi situasi seperti ini karena hal itu terbukti manjur, tak terlihat dan terdengar lagi dering telepon tersebut.
Berbeda dengan adiknya, Zeze adalah tipe anak yang sedikit pendiam dan tak berani bersikap seperti adiknya barusan. Jika ada di situasi seperti barusan, ia hanya memilih mendiamkannya dan berharap si penelpon jengah lalu berhenti menelponnya. Ia merasa tidak enak jika langsung mengungkapkan apa yang ia mau karena ia takut lawannya akan tersinggung.
Tapi jika difikir-fikir, aksi adiknya yang ikut ambil andil tak sepenuhnya membuat tenang, yang ada justru membuat suasana akan lebih runyam. Pasti si penelpon akan merasa jengkel setengah mati padanya. Dan yah, semuanya sama berakhir pada situasi yang sama.
Tapi... so what?! Dalam kenyataannya si penelpon juga tidak bisa menjaga perasaannya jadi mengapa ia harus menjaga perasaannya bukan?
***
Malam semakin larut. Matanya tak jua bisa tertutup, karena telepon beberapa waktu lalu membuatnya bertanya-tanya akan si penelpon. kenapa ia menelponnya? Apa lagi yang ingin ia katakan padanya? Hal yang menyakitkan lagi? Atau hal yang... Ah, itu tidak mungkin. Ia harus menghapus fikiran itu cepat-cepat dari kepalanya.
Ia menutup matanya lagi. beberapa detik bertahan dan ketika hitungan ke enam mata itu terbuka lagi. Ah, kenapa matanya sulit terpejam? Kenapa otaknya yang seharusnya beristirahat menjadi ingin bekerja terus? Kenapa ia masih bertanya-tanya hal yang sebetulnya tidak perlu ditanyakan karena dugaan terbesarnya itu pasti benar, tanda-tanda yang ia tangkaplah yang membuatnya sangat yakin akan kebenarannya. Yakin bahwa si penelpon hanya akan membuatnya sakit hati.
Oh no, jika mengingat dugaan itu ia langsung merasa mual dan merasa ada geliat yang tak menyenangkan dari dalam hatinya. Sakit. Tapi sebetulnya, sakitnya tidak seberapa dan tidak terlalu bermasalah. Malu-lah yang membuatnya mengenaskan. Mau ditaruh mana mukanya setelah ini?
Ia bangkit dan menuju jendela. Ia menyibakkan tirai jendelanya lalu membuka jendela itu sedikit agar ia bisa merasakan angin malam yang dingin. Bintang di langit sedang terlihat banyak, juga bulan yang berbentuk cembung membuat langit terasa ceriah. Tapi sayangnya ia tak sedang ceriah ataupun pura-pura ceriah saat ini.
Ingatannya kembali ke delapan jam lalu tepat pukul empat sore.
***
“Aku ada panggilan kerja di Bali. Mungkin gajinya tidak seberapa tapi mereka menawarkan sekolah S2 gratis padaku. Jadi aku putuskan untuk menerimanya, dan besok aku harus berangkat ke Bali karena lusa aku sudah harus bekerja di sana.” tutur Zian sambil matanya terus menatap langit yang keemasan.
Bagai bom waktu yang telah diatur oleh teroris, jantungnya terasa jatuh di atas rerumputan tepat setelah kalimat dari cowok itu selesai.
Ia akan pergi? Meninggalkannya di sini?
“Ah, pasti aku bakal kangen banget sama suasana kayak gini, nikmatin sore dengan kamu, apa aku nggak usah ke sana saja ya?” tambah Zian.
Mendengar itu sepertinya ada harapan, seperti korban yang terkena bom mengalami luka parah, tapi nyawanya bisa diselamatkan meski harapan hidupnya tipis. Ragu, Zeze menatap lawan bicaranya, berharap bahwa harapan itu memang ada. “Ya enggaklah, cuma becanda. Mana mungkin aku lewatin kesempatan ini. Bayangin, aku nggak perlu keluarin uang buat kuliahku dan justru aku dibayar,” ujar cowok itu lalu terdiam sejenak, “Dedek kecil, kamu jangan nakal ya waktu aku di Bali.” Lanjut si cowok yang benar-benar membuat jantungnya terjatuh dan tak ada harapan lagi. Tak ada harapan hidup untuk hatinya yang malang. ‘It’s game over. Now, my heart is broken,’ Ratap Zeze
‘Harus kuat. kamu jangan nangis. Malu, Ze’ terdengar suara hatinya yang mencoba menguatkannya tapi apa boleh buat, kadang kenyataan tak selaras dengan harapan. Sirna.
Teees...
“Eh, kamu nangis?” tanya Zian saat tak sengaja sedang menatap Zeze dan menemukan air mata yang merembes di pipi gadis itu.
Tees... Teees....
Kacau. Ia benar-benar menangis dan ia tidak bisa menghentikannya. Terlihat cowok yang sedang duduk di sebelahnya kebingungan ia mencoba menyeka air mata Zeze tapi hal itu justru membuat air matanya semakin deras.
Zian menghapus air matanya lagi, kedua bola mata Zian terus mengamati tetes demi tetes yang keluar. Dan ia mendadak membisu sambil sesekali menghapusnya.
“Kamu mau pergi? Ninggalin aku?”
Mendengar itu Zian semakin menatap Zeze dengan lekat dan tak bicara apa pun.
Mendapati hal itu Zeze terdiam. Ia gigit bibirnya kuat-kuat.
Hening.
“Aku emang ke Bali tapi Bali dengan Surabaya kan nggak terlalu jauh Ze. Kalau musim liburan kamu bisa ke sana begitu sebaliknya. Jangan cengeng dong, gimana kakakmu ini kerja dengan tenang di sana kalau kamu kayak gini? Yang aku tau kamu nggak anak cengeng, jadi tolong berhenti, Ze.”
Deg..
Hening.
‘Andai kamu tau perasaan aku yang sebenarnya,’ Jerit Zeze dalam hati. ‘Mengapa kamu nggak peka Kak? Seharusnya sebagai orang yang menganggap diri seorang kakak peka terhadap perasaan orang yang telah dianggap ‘adik’. Bagaimana mungkin aku sanggup melepasmu pergi? Menyadari bahwa orang yang dicintai jauh dari dirinya? Dan andai kamu tau perasaanku yang menganggapmu lebih dari kakak saja. Harapan itu semakin lama semakin tinggi, harapan itu terukir di setiap saat pertemun, seperti sekarang. Dan harapan itu benar-benar terhempas di detik ini. Terhapus begitu saja, tapi tak dipungkir bekasnya masih ada dan bekas itulah yang membuat kondisi ini semakin menyakitkan.’
‘Kamu pasti tak mendengar, padahal kita sangat dekat,’ batinnya. Ia sekarang sadar, apalah arti jarak yang dekat ketika hati terasa sangat jauh. Dan kepergian Zian ke Bali akan membuat jarak itu semakin jauh dan bahkan jauhnya tak akan bisa dihitung lagi.
Huh! Ia pasrah.
Mungkin ini takdir yang harus ia jalani. Takdir yang menyatakan kalau perasaannya bertepuk sebelah tangan. Meski sangat teramat sulit. Ia harus berani berkata ‘Bye’ untuk segalanya. Ia akan menghindari cowok itu, agar perasaannya bisa membaik secepatnya.
***
Zeze menghembuskan napas pelan. Ia malu sekali karena sudah menangis dihadapan Zian. Selama mereka kenal ia tak pernah melakukannya. Tapi apa pedulinya? karena Zian tak mengerti maksud air mata itu yang sebenarnya. Cowok itu hanya berfikir bahwa dirinya sedih karena ‘kakak’nya akan pergi jauh.
Ia peluk tubuhnya sendiri, angin malam semakin lama semakin kencang dan terasa dingin. Meski sebenarnya enggan, ia harus menutup jendelanya demi kesehatannya dan demi kesehatan adiknya.
Ia beralih menuju meja belajarnya. Ia menemukan sebuah buku diary miliknya di atas meja. Ia sudah terbiasa menulis diary, bagaimanapun keadaannya ia selalu menulis karena ia mengamini bahwa menulis dairy akan membuat emosinya keluar. Jadi baik saat ia bahagia ataupun susah ia akan menulisnya. Ia tidak mau dirinya terbebani dengan masalah kehidupan yang nantinya akan membuatnya sakit. Sudah banyak ia menghabiskan buku diary di tahun ke tiganya, terhitung sejak ia berusia tujuh belas tahun saat ia menyadari fungsi diary hingga sekarang ia telah menghabiskan 5 buku.
Ia membuka diary tersebut, untuk mengecek sisa kertas yang ada. tinggal tiga lembar, dan itu artinya besok ia harus membeli buku diary yang baru.
Ia membuka-buka diary tersebut. Ia tercekat melihat tulisan terakhir pada tulisannya. Disana tertulis tanggal. 20 Juli 2014 yang berarti hari ini.
Padahal sebelumnya tak ada yang datang sepertimu. Kamu satu banding seribu, tapi itu pun tak membuatmu berada di sisiku, menjadi milikku. Jadi tak ada putusan yang baik selain melepasmu.
“Adikmu melepasmu, harapannya tentangmu yang menjadi pangeran di hati ia lepas, juga ia melepaskan dirimu sebagai kakak. Mulai sekarang anggap tak ada hubungan yang dekat. Hanya sebatas teman saja. Tak lebih. Kakakku sayang, Zian.”
Zeze menutupnya cepat-cepat. Sebelum rasa sakit itu muncul lagi dan membuatnya menangis. Ia rasa sudah cukup acara ‘tangis-tangisan’ hari ini ataupun besok saat cowok itu pergi. Dan bahkan ia memilih untuk tidak mengantarnya ataupun menemuinya.
2
Rasaku Harus Berhenti Tepat Saat Kau Pergi
Matahari telah terbit, seiring terbitnya matahari handphone Zeze kembali berisik. Zian kembali menghubunginya. Sejak pukul enam pagi hingga setengah tujuh, tak ada jeda yang cukup lama agar ia bisa mematikan handphonenya agar cowok itu tidak bisa menghubunginya lagi.
Zeze melirik handphonenya yang berdering dengan resah. Ia ingin mengangkatnya .....
Nb. 3 / 14/ 2015
0 Response to "Sssttt.... Diamlah By : Lia El Muslich "
Posting Komentar